Senin, 15 November 2010

Nunu-Tavanjuka: Sebuah Sejarah Berdarah



Abtract: Communal conflict between youth from Nunu village vs youth from Tavanjuka used to hear by people in the city of Palu, the prolonged conflict has been running nearly seven years. A bloody history that emboss the journey of Palu as the center administration of Sulawesi Tengah province. This paper describes the occurrence of conflict and its resolution of the writers as actors who take part involved in managing the conflict that is as the security forces. The stakeholders and the synergy of local government, police, military, community leaders and indigenous stakeholders resolved the conflict properly.
Keyword: communal conflict, history, security forces, stakeholder, and synergy.

Abstraksi: Konflik komunal antara pemuda kelurahan Nunu vs pemuda kelurahan Tavanjuka sudah sering didengar oleh masyarakat umum terutama di Kota Palu, konflik yang berkepanjangan ini sudah berjalan hampir tujuh tahun. Sebuah sejarah berdarah yang menghiasi perjalanan kota Palu selaku pusat pemerintahan provinsi Sulawesi Tengah. Makalah ini mendeskripsikan terjadinya konflik dan penyelesaiannya dari sisi penulis sebagai pelaku yang ikut berkecimpung dalam mengelola konflik tersebut yaitu selaku aparat keamanan. Konflik tersebut ternyata dapat diselesaikan dengan baik oleh para pemangku kepentingan dan sinergisitas pemerintah daerah, Polri, TNI, tokoh-tokoh masyarakat dan pemangku adat.
Kata Kunci: konflik komunal, sejarah, aparat keamanan, pemangku kepentingan, sinergisitas.
 


I.               PENDAHULUAN

Provinsi Sulawesi Tengah merupakan provinsi yang sangat dikenal di Indonesia, bukan karena suatu prestasi daerah akan perkembangan ekonomi, daya tarik pariwisata atau suatu situs sejarah berupa peninggalan purbakala melainkan karena seringnya terjadi konflik baik secara komunal maupun sudah menjadi konflik horisontal, misal: konflik Poso.
Kota Palu merupakan bagian dari wilayah administrasi provinsi Sulawesi Tengah, yang batas wilayahnya di sebelah utara adalah teluk Palu, di sebelah selatan adalah kecamatan Binangga, di sebelah timur adalah Kecamatan Biromaru dan di sebelah barat adalah Bandara Mutiara. Kota Palu merupakan tempat berbaurnya penduduk asli yaitu suku Kaili dengan pendatang yang sebagian besar berasal dari wilayah selatan yaitu suku Bugis, Makassar, Mandar dan Toraja. Para pendatang inilah yang menguasai hampir 80% sektor perekonomian kota Palu. Kota Palu memiliki luas 395,06 km2 yang terdiri dari empat kecamatan yaitu kecamatan Palu Utara seluas 89,69 km2, kecamatan Palu Selatan seluas 61,35 km2, kecamatan Palu Timur seluas 186,55 km2, dan kecamatan Palu Barat seluas 57,47 km2 (Profil Kota Palu 2001 : 2). Berdasarkan sensus penduduk 2010, jumlah penduduk kota Palu adalah 335.297 orang, yang terdiri atas 169.207 laki-laki dan 166.090 perempuan. Untuk penyebaran penduduk kota Palu masih bertumpu di kecamatan Palu Selatan yakni sebesar 36,36% kemudian diikuti oleh kecamatan Palu Barat sebesar 29,46%, kecamatan Palu Timur sebesar 22,59% dan kecamatan Palu Utara sebesar 11,59% (BPS Kota Palu 2010 : 6).
Perjalanan kota Palu sebagai pusat pemerintahan provinsi Sulawesi Tengah memiliki beraneka peristiwa dan kisah yang dapat dikategorikan sebagai sejarahnya. Sejarah sebagai peristiwa adalah peristiwa yang terjadi di masa lampau, dalam arti peristiwa sebagaimana terjadinya. Dengan kata lain, sejarah sebagai peristiwa adalah proses sejarah dalam aktualitasnya (history as past actuality atau histoire-realité). Hal itu berarti sejarah sebagai peristiwa bersifat obyektif, karena peristiwa itu murni sebagaimana terjadinya. Sedangkan sejarah sebagai kisah adalah sejarah sebagaimana dikisahkan secara tertulis (history as written / histoire recité) berdasarkan hasil penelitian yaitu rekonstruksi peristiwa-peristiwa penting yang menyangkut kehidupan manusia secara umum berdasarkan fakta sejarah. Proses rekonstruksi sejarah tentu terkait dengan subyek, yaitu sejarawan yang melakukan kritik sumber, seleksi, interpretasi data dan analisis permasalahan berdasarkan pemikiran atau pandangan sejarawan, baik berlandaskan suatu teori ataupun tidak. Oleh karena itu, sejarah sebagai kisah cenderung bersifat subyektif namun menunjukkan subyektif-rasional, dapat dipertanggungjawabkan keabsahannya, sesuai dengan kaidah dan etika ilmiah (Hardjasaputra 2008 : 2-3).
Salah satu kisah yang mewarnai kota Palu yang hampir seluruh masyarakat kota Palu mengetahuinya adalah peristiwa konflik komunal yaitu peristiwa konflik antara dua kelompok pemuda dari dua kelurahan yaitu kelurahan Nunu (Nunu) yang terletak di kecamatan Palu Barat dan kelurahan Tavanjuka (Tavanjuka) yang terletak di kecamatan Palu Selatan yang sudah berlangsung hampir tujuh tahun. Peristiwa pertikaian antara masyarakat dua kelurahan itu terjadi berulang-ulang, dan terakhir terjadi saat penulis menjabat sebagai Kapolsek Palu Barat yang ikut mengelola konflik tersebut. Peristiwa terakhir terjadi pada bulan November-Desember 2007 sebanyak 2 kali bentrokan dan pada akhir Desember 2007 peristiwa berdarah itu dapat diselesaikan.
Metode yang dilakukan oleh penulis yaitu metode sejarah antara lain heuristik, kritik, interpretasi dan historiografi (penulisan sejarah). Penulis mencari dan menemukan sumber baik primer atau sekunder yang diperlukan yang tergantung wawasan penulis dan ketrampilan teknis penelusuran sumber (arsip, dokumen, buku, majalah/jurnal, surat kabar dan lain-lain). Selanjutnya sumber itu dinilai melalui kritik ekstern bahwa memang sumber asli/akurat, serta kritik intern bahwa kredibilitas data tidak diragukan lagi. Kritik yang dilakukan untuk menyeleksi data sehingga diperoleh fakta, apalagi penulis ikut terlibat didalamnya. Selanjutnya penulis melakukan interpretasi berupa penafsiran dan makna fakta serta hubungan antar fakta yang dilakukan secara obyektif, subjektif-rasional yang direkonstruksikan berdasarkan pengalaman penulis yang ikut terlibat. Langkah terakhir penulis merangkai fakta berikut maknanya secara krnologis/diakronis dan sistematis sehingga mejadi tulisan sejarah sebagai kisah (Hardjasaputra 2008 : 4-6).
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, maka kisah peristiwa berdarah diperbatasan Nunu dan Tavanjuka dapat dikategorikan sebagai sejarah, karena direkonstruksikan oleh penulis yang terlibat langsung dalam pengelolaan konflik yaitu sebagai aparat keamanan dalam hal ini sebagai Kapolsek Palu Barat secara kritis, seleksi, interpretasi data dan analisis permasalahan yang komperhensif berdasarkan fakta yang terjadi. Selain itu juga memiliki karakteristik sebagai sejarah yaitu: sifat peristiwa yang hakekat dan maknanya berupa peristiwa penting yang memiliki signifikasi dan berpengaruh besar dalam kehidupan manusia serta memiliki keunikan peristiwa yang menyangkut individu, institusi, situasi bahkan ide yang menjadi salah satu alasan bagi pemilihan topik penelitian sejarah; peristiwa yang dikaji harus jelas ruang lingkup waktunya (periodisasi); fakta peristiwa itu merupakan hasil seleksi atas sifat fakta (kuat atau lemah) (Hardjasaputra 2008 : 7-8).
Penulis akan mendeskripsikan peristiwa berdarah yang terjadi diperbatasan Nunu dan Tavanjuka, pengelolaan keamanan yang dilakukan oleh aparat keamanan dalam hal ini Polsek Palu Barat yang di back up oleh Polres Palu dan penyelesaian konflik tersebut sehingga peristiwa berdarah itu menjadi yang terakhir terjadi dan tidak pernah terjadi lagi sampai tulisan ini dibuat karena penyelesaian tersebut dilakukan secara komperhensif dan melibatkan semua pemangku kepentingan dalam mengelola dan meniadakan akar permasalahan konflik tersebut sehingga masyarakat dapat beraktivitas lebih leluasa tanpa rasa takut.

II.             PERISTIWA BERDARAH DI PERBATASAN NUNU – TAVANJUKA

Konflik adalah tindakan permusuhan antara dua pihak (antarperorangan atau antarkelompok) yang terwujud dengan tindakan saling menghancurkan untuk memenangkan suatu tujuan tertentu yaitu bisa berupa sumber-sumber daya dan rejeki, kehormatan jati diri atau kelompok, atau kesemuanya itu dan seringkali pihak-pihak yang berkonflik sudah lupa akan tujuan utama yang ingin dicapai karena dalam keadaan konflik yang menjadi tujuan utama dari mereka adalah saling menghancurkan pihak lawan (Suparlan 2005 :50).
Konflik dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu konflik fisik; para pelaku saling menghancurkan (membunuh atau setidak-tidaknya mencederai) dan menghancurkan harta benda milik lawan yang merupakan atribut-atribut dan jati diri dari pihak lawan, dan konflik simbolik; masing-masing pihak yang konflik atau pernah konflik di masa lalu, menciptakan simbol-simbol keperkasaan mereka dan bersama itu juga mengenai kehormatan dan jati diri mereka yang berbeda dan lebih unggul daripada lawan (Suparlan 2005 : 50-51).
Konflik atau peristiwa berdarah ini diawali pada tanggal 9 Nopember 2007 pukul 12.00 WITA yang melibatkan dua kelompok pemuda yang berasal dari Nunu dan Tavanjuka di sebuah jembatan yang merupakan perbatasan kedua keluarahan tersebut. Permasalah awal dipicu dari kejadian pada tanggal 8 Nopember 2007 sehari sebelumnya, yaitu terjadinya pengrusakan kendaraan bermotor berupa sebuah mobil dan dua buah motor yang diparkir dipinggir jalan di Nunu kecamatan Palu Barat. Pengrusakan itu mengakibatkan kaca mobil pecah akibat lemparan batu dan jok motor rusak karena disayat dengan parang oleh sekelompok anak muda dari Tavanjuka kecamatan Palu Selatan. Pemuda Tavanjuka itu sebelumnya sudah mabuk minuman keras dan beberapa hari sebelumnya pada tanggal 3 Nopember 2007 mengalami kekalahan perjudian “dokar” (kereta yang ditarik kuda) di jalan Sis Aljufri saat tengah malam dari teman bermainnya yang merupakan warga Nunu.
Akibatnya pada hari na’as tersebut, saat siang hari mulai beredar isyu bahwa akan ada penyerangan oleh pemuda Nunu ke Tavanjuka melalui Short Message Service (SMS) sehingga pemuda Tavanjuka memobilisasi pemudanya untuk bersiap-siap menghadang pemuda Nunu di perbatasan kedua wilayah yaitu sebuah jembatan yang biasa dilalui oleh masyarakat yang akan menuju ke Tavanjuka melalui Nunu. Mobilisasi tersebut mengakibatkan berkumpulnya pemuda Tavanjuka di jembatan perbatasan Nunu-Tavanjuka.
Padahal sebenarnya, setelah ditelusuri bahwa isyu pemuda Nunu akan menyerang Tavanjuka itu tidak ada, dengan berkumpulnya pemuda Tavanjuka justru diinterpretasikan negatif oleh pemuda Nunu bahwa Tavanjuka akan menyerang Nunu. Stigma ini sudah mengakar selama hampir tujuh tahun, bahwa jika salah satu kelompok sudah berkumpul di jembatan perbatasan Nunu-Tavanjuka maka akan ada penyerangan oleh salah satu pihak. Perselisihan akut itu mengakar sejak tahun 2000 ketika awal konflik pertama terjadi akibat perebutan lahan oleh beberapa keluarga yang sebenarnya masih dalam satu garis keluarga. Selanjutnya berkembang menjadi konflik komunal antara dua desa yakni Nunu dan Tavanjuka, yang melibatkan lebih banyak dan lebih luas lagi golongan dan kelompok pemuda. Padahal secara garis keluarga, warga Nunu dan warga Tavanjuka adalah keluarga besar yang sebenarnya bergaris sama bahkan satu darah. Akibat berlarutnya penyelesaian, dan masih belum maksimal, maka pertikaian/konflik tersebut ibarat api dalam sekam. Suatu saat bisa menyala dan disaat yang lain bisa padam.
Menurut Suripto (dalam Budi Sa’arin  2010 : 4) sumber konflik secara umum meliputi: (1) kebutuhan (needs), yaitu esensi terhadap kesejahteraan dan keberadaan manusia; (2) persepsi (perceptions), yaitu cara pandang dan pemahaman terhadap suatu hal atau masalah; (3) kekuasaan (power), yaitu kemampuan yang dimiliki seeorang untuk mempengaruhi orang lain sesuai dengan kehendaknya; (4) nilai (values), yaitu kepercayaan atau prinsip dasar yang dipertimbangkan sebagai hal yang amat penting; (5) perasaan dan emosi (feeling and emotions), yaitu respon yang timbul dari diri individu/kelompok dalam menghadapi konflik. Konflik Nunu-Tavanjuka yang sudah berlangsung lama, pada awalnya dimulai dari kebutuhan (needs), yaitu pertikaian perebutan lahan di daerah perbatasan kedua desa oleh beberapa sanak keluarga yang merupakan penunjang kesejahteraan dan keberadaan salah satu keluarga. Dan kemudian berkembang menjadi konflik komunal karena persepsi (perceptions) dari beberapa keluarga besar yang memandang pertikaian awal dari beberapa sudut pandang yang mengakibatkan terlibatnya pihak luar selain sanak keluarga tersebut. Juga karena kekuasaan (power) salah satu anggota keluarga yang mampu mempengaruhi orang lain diluar sanak keluarganya sesuai dengan kehendaknya. Dan pada akhirnya konflik tersebut telah melibatkan perasaan dan emosi (feeling and emotions) berupa respon dari pemuda Nunu atau pemuda Tavanjuka yang merasa tercabik perasaan mereka jika salah satu anggota kelompok mereka dilukai oleh kelompok yang lain.
Melihat banyaknya pemuda Tavanjuka yang berkumpul, maka beredar pula isyu ke masyarakat Nunu bahwa Tavanjuka akan menyerang Nunu, maka munculnya beberapa tokoh pemuda Nunu membunyikan bunyi-bunyian dengan memukul tiang listrik dengan batu atau senjata tajam berupa parang, samurai dan lain-lain. Maka serentak berkumpul juga pemuda-pemuda Nunu bahkan dikomandoi oleh orang dewasa menuju jembatan perbatasan Nunu-Tavanjuka. Pemuda Tavanjuka yang masih berkonsolidasi dan konfirmasi tentang kebenaran isyu diantara mereka, tiba-tiba terkejut dengan banyaknya pemuda Nunu berlarian kearah mereka dengan senjata tajam dan aneka ragam peralatan perang. Sehingga pemuda Tavanjuka berlarian masuk ke wilayah mereka untuk mengambil senjata tajam atau peralatannya dan kemudian berbalik menyerang pemuda Nunu.
Maka terjadilah saling lempar batu antara kedua kelompok pemuda tersebut. Ratusan pemuda dari kedua desa saling serang di jembatan yang menghubungkan kedua kelurahan tersebut[1]. Aksi saling lempar batu dan melepaskan anak panah mengakibatkan beberapa dari mereka terluka ringan terkena lemparan batu. Beruntunglah masyarakat sekitar segera menelpon Polisi, sehingga Polsek Palu Barat mengirimkan 1 unit buser dan 1 regu gabungan polisi berseragam langsung mengamankan lokasi dan dibackup oleh 1 pleton Samapta Polres Palu dengan melepaskan tembakan peringatan sehingga bentrok dapat diredam. Selanjutnya Kapolsek Palu Barat saat itu AKP Winardy, SH, SIK bernegosiasi dengan perwakilan pemuda masing-masing dari Nunu dan Tavanjuka agar masing-masing kembali ke tempat masing-masing. Dan suasana dapat didinginkan, dan para pemuda kembali ke rumah masing-masing. Walaupun demikian, polisi berjaga-jaga diperbatasan kedua kelurahan tersebut sampai beberapa hari kemudian. Kapolsek Palu Barat berkoordinasi dengan Kapolsek  Palu Selatan untuk menugaskan masing-masing babinkamtibmas untuk melakukan pendekatan kepada masing-masing kelompok pemuda. Dan didapat kesimpulan agar para oknum pelaku dari Tavanjuka yang melakukan pengrusakan agar ditindak secara hukum, hal ini kemudian ditindaklanjuti oleh Kapolsek Palu Selatan untuk segera menyelidiki dan menangkap oknum tersebut.
Akibat keterlambatan penindakan yang dilakukan oleh aparat Polsek Palu Selatan untuk mengamankan oknum dari pemuda Tavanjuka yang melakukan pengrusakan kendaraan di Nunu dan terkesan lambat dari kacamata masyarakat Nunu maka pada tanggal 16 Desember 2007 saat siang hari terjadi kembali bentrokan antara kedua pemuda Nunu-Tavanjuka. Bentrok ini diawali dengan isyu bahwa seorang warga Nunu dipukuli oleh pemuda Tavanjuka sehingga masing-masing warga Nunu dan warga Tavanjuka memobilisasi pemuda mereka untuk melakukan penyerangan balasan. Maka timbullah konflik berupa peperangan saling lempar batu, saling panah, saling tembak dengan senjata angin/dorlop (senjata api rakitan), pembakaran rumah-rumah/tempat usaha yang ada disekitar jembatan perbatasan Nunu-Tavanjuka. Akibat saling serang itu, menjatuhkan korban 18 orang luka-luka parah akibat tertembus panah, kepala pecah kena lemparan batu, luka-luka akibat peluru senapan angin dan korban harta benda berupa terbakarnya 5 buah rumah termasuk bengkel yang berada disekitar arena konflik berdarah tersebut serta 6 buah sepeda motor.
Polisi butuh waktu 4 jam untuk melerai dan memisahkan kedua kelompok pemuda tersebut dengan mengerahkan pasukan gabungan Polsek Palu Barat, Polsek Palu Selatan, Polres Palu dan Brimob Polda Sulawesi Tengah sebanyak 400 orang baru dapat meredakan konflik tersebut. Pasukan dibagi menjadi dua bagian yang bergerak dari arah Tavanjuka dan dari arah Nunu sehingga masing-masing kelompok pemuda dapat diperjauh dari lokasi bentrokan berdarah tersebut. Setelah membuat parameter aman dari masing-masing kelompok pasukan Polisi, maka dilakukan penjagaan secara stimultan.
Korban luka-luka yang telah dievakuasi ke rumah sakit terdekat yaitu RS Bhayangkara, RS Undata, RS Bala Keselamatan dan Puskesmas setempat. Untuk rumah dan sepeda motor yang terbakar sudah dipadamkan oleh Dinas Pemadam Kebakaran sebanyak 2 Unit dari Kecamatan Palu Barat dan Pemerintahan Kota Palu. Kemudian Polres Palu mengadakan olah TKP untuk mengumpulkan bukti-bukti dibantu oleh Polsek Palu Barat dan Palu Selatan. Ketegangan masih dapat dirasakan disekitar dan diperkampungan masing-masing kelurahan Nunu dan Tavanjuka. Selain itu, tampak mencekam ketika di malam hari walaupun tampak aparat Polisi gabungan berjaga-jaga diperbatasan kedua daerah tersebut.
Menurut Fisher dkk (2001 : 7) transformasi konflik sebagai berikut : (1) pencegahan konflik bertujuan untuk mencegah timbulnya konflik yang keras; (2) penyelesaian konflik bertujuan untuk membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat; (3) resolusi konflik menangani sebab-sebab konflik dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa bertahan lama di antara kelompok-kelompok yang bermusuhan; (4) transformasi konflik mengatasi sumber-sumber konflik sosial dan politik yang luas dan berubah mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial yang positif.
Dengan semakin meningkatnya ekskalasi konflik, maka pihak aparat keamanan dalam hal ini Polri melakukan upaya pencegahan konflik agar tidak meluas dan tidak menimbulkan jatuhnya korban jiwa dengan melakukan penjagaan di daerah perbatasan Nunu-Tavanjuka selama 24 jam sehari nonstop melalui shift/plug anggota jaga secara bergantian setiap 2 jam diganti secara periodik. Selanjutnya pada tanggal 18 Desember 2007 siang hari, aparat gabungan Polri (Polsek, Polres, Brimob Polda) dan Satpol PP sejumlah 300 personel menggelar razia senjata api dan senjata tajam di Kelurahan Nunu, Palu Barat dan Kelurahan Tawanjuka, Palu Selatan untuk mencegah meluasnya bentrokan antara warga dua kelurahan ini.
Dari razia tersebut puluhan senjata tradisional, bom molotov, senapan angin dan senjata api rakitan berhasil ditemukan. Aparat gabungan tersebut berhasil menemukan puluhan senjata tradisional berupan panah, parang dan lembing. Polisi juga menemukan senapan angin dan senjata api rakitan. Penyisiran dipimpin langsung Kapolres Palu AKBP Sunarto dan Kepala Bagian Operasi (Kabag Ops) Ajun Komisaris Polisi (AKP) Petit, SIK. Razia ini juga diawasi Direktur Reserse dan Kriminal (Direskrim) Polda Sulteng Kombes Pol Drs. Armensyah Thai.
Dalam catatanposo.blogspot.com, Armensyah mengatakan penanganan bentrok warga ini tetap dilaksanakan sesuai prosedur hukum yang berlaku, namun tetap berdasar pada situasi yang berkembang dan telah mengidentifikasi para provokator dan pemilik senjata.
"Tidak usah dulu kita beberkan siapa saja mereka, nanti mereka malah kabur. Kita bekerja saja secara bertahap sesuai prosedur hukum, dimulai dengan tindakan pencegahan melalui razia senjata. Setelah semua teridentifikasi jelas, baru kita melangkah ke tahapan selanjutnya. Ini kan awalnya semua dari anak-anak muda yang berkelahi karena mabuk miras," kata Armensyah.
Pada sore harinya, Polisi juga berhasil menangkap seorang warga yang diduga menjadi provokator atau pemicu bentrokan antarwarga ini. Lelaki ini diketahui bernama Hendrik Erwin, warga Jalan Danau Poso Nomor 20, Kelurahan Ujuna, Palu Barat. Ia ditangkap ketika melintas di Kelurahan Nunu mengendarai sepeda motor Suzuki jenis Shogun sambil mengeluarkan makian yang kerap memicu bentrokan. Menurut Kabag Ops Polres Palu AKP Petit dalam catatanposo.blogspot.com, mengatakan pihaknya tengah mendalami penyidikan atas Erwin.
"Tersangka sudah ditangani Satreskrim. Untuk sementara masih diperiksa. Ia diduga yang selama ini memprovokasi warga," kata Petit.
Dengan dilakukannya razia tersebut, maka muncul efek deteren bagi para pelaku konflik sehingga dapat membatasi dan menghindari kekerasan dengan mendorong perubahan perilaku yang positif bagi pihak-pihak yang terlibat untuk tidak mengulangi atau melakukan lagi konflik karena jika kedapatan maka akan diproses secara tegas sesuai hukum yang berlaku. Contoh yang sudah ada tertangkap, membuat masyarakat berpikir dua kali untuk melakukannya.
Selanjutnya pada tanggal 19 Desember 2007, dengan difasilitasi oleh Polres Palu maka perwakilan tokoh warga Nunu dan tokoh warga Tavanjuka mengadakan pertemuan di kantor Polres Palu yang juga dihadiri oleh Kapolda Sulawesi Tengah, Brigadir Jenderal Badrodin Haiti dan Sekretaris Daerah Kota Palu, Sekretaris Kota Palu Arifi H Lolo. Para delegasi warga Nunu dan Tawanjuka sepakat mendukung tindakan tegas aparat keamanan terhadap siapa saja yang memulai atau memprovokasi warga sampai bertikai. Pertemuan berlangsung dalam suasana kekeluargaan, kedua belah pihak menyesali pecahnya bentrok yang mengakibatkan korban luka dan kerugian materil, kata Lurah Nunu, Hasanuddin, seusai pertemuan. Sebanyak 10 orang perwakilan warga Nunu dipimpin Syamsuddin Ladjuni dan Asrah Lagera yang memimpin perwakilan warga Tawanjuka. Syamsuddin dan Lagera yang merupakan tokoh masyarakat masih satu sepermainan semasa kanak-kanak.
Ini merupakan langkah yang tepat, resolusi konflik yang dilakukan oleh Polri dalam menangani sebab-sebab konflik dapat diterima oleh masyarakat terutama kelompok-kelompok tersebut dan berusaha membangun hubungan baru dan yang bisa bertahan lama dengan menyadarkan bahwa konflik yang ditimbulkan sangat merugikan dari segi apapun diantara kelompok tersebut. Untuk menindaklanjuti pertemuan itu dan dalam rangka sosialisasi dengan melibatkan jumlah warga yang lebih besar di Auditorium Kantor Walikota Palu pada hari Sabtu tanggal 22 Desember 2007 untuk warga Nunu dan pada hari Minggu tanggal 23 Desember 2007 untuk warga Tavanjuka.
Sosialisasi tersebut dihadiri juga oleh Kapolda, Kapolres, Walikota, Ketua DPRD Kota Palu, Danrem dan tokoh alim ulama yang mampu mentransformasikan konflik dengan mengatasi sumber-sumber konflik tersebut dan mengubah kekuatan negatif dari peperangan menjadi kekuatan sosial yang positif saling menyadari karena sebenarnya mereka masih sanak keluarga, masih membutuhkan karena hidup berdampingan. Dukungan Pemda Kota Palu dalam menanggulangi kerugian yang diakibatkan oleh bentrokan berdarah tersebut, termasuk biaya pengobatan korban yang terluka dan penggantian materil kerugian yang ditimbulkan akibat konflik tersebut.
Menurut Winardi dalam Wahyudi (2008 : 49-50) manajemen konflik meliputi : (1) menstimulasi konflik; (2) mengurangi atau menekan konflik; dan (3) penyelesaian konflik. Lebih lanjut menjelaskan cara yang sering digunakan adalah dominasi, kompromi akomodasi, kompromi, dan pemecahan masalah secara integratif. Memilih pendekatan manajemen konflik tidak mudah, seharusnya terlebih dahulu melihat gejala atau faktor yang menyebabkan konflik.
Keterlibatnya seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) dan sinergisitas hubungan antara aparat keamanan, aparat pemda, alim ulama dan TNI mampu mengelola konflik dengan baik melalui dominasi, kompromi akomodasi, kompromi terhadap pihak-pihak yang terlibat dan pemecahan masalah (problem solving) secara integratif karena semua pemangku kepentingan memiliki visi yang sama dalam memecahkan masalah antara Nunu dan Tavanjuka. Langkah yang diambil sangat tepat dan cepat untuk menghindari lebih luasnya konflik. Dan dukungan materil dari Pemda Kota Palu sangat membantu, apalagi Walikota juga menjanjikan meluncurkan stimulus ekonomi agar warga Nunu dan warga Tavanjuka memiliki kesibukan beraktivitas melalui usaha unggulan.

III. KESIMPULAN

Penyelesaian konflik berdarah Nunu-Tavanjuka sangat berarti bagi kehidupan manusia khususnya masyarakat Nunu dan Tavanjuka serta kedamaian Kota Palu. Sehingga roda ekonomi tetap berjalan, tanpa mesti takut akan meluasnya konflik. Dan konflik Nunu-Tavanjuka memiliki keunikan tersendiri yaitu bahwa dalam garis keluarga sebagian besar hampir 80% warga Nunu adalah bersaudara dengan warga Tavanjuka. Justru kesalahpahaman selama tujuh tahun berlalu sebenarnya sudah dilupakan oleh sanak keluarga tersebut, malah dihidupkan oleh orang-orang diluar sanak saudara tersebut.
Dengan keterlibatan seluruh pemangku kepentingan dalam mengelola konflik Nunu-Tavanjuka maka konflik tersebut dapat dihilangkan melalui sinergisitas kerjasama yang komperhensif sehingga masyarakat Nunu dan Tavanjuka memahami dan menyadari kerugian (lost) yang mereka  akan dapatkan jika terus memelihara rasa permusuhan dengan tetangganya sendiri. Dukungan dari Pemda Kota Palu menjadi kunci suksesnya penyelesaian konflik yang terintegrasi melalui stimulus ekonomi untuk masyarakat Nunu dan Tavanjuka.
Akhirnya dapat disimpulkan bahwa peristiwa bentrokan Nunu-Tavanjuka merupakan kisah yang mewarnai perjalanan Kota Palu  dan sebagai sejarah hitam yang akan selalu diingat agar tidak terjadi lagi. Dengan motto “Nosa Rara Nosa Batutu” yang berarti dalam bahasa Kaili[2], kita semua saudara dan kita semua bersatu harus diletakan di sanubari masyarakat Kota Palu untuk menghindari dari konflik yang dapat ditimbulkan oleh orang lain.


DAFTAR PUSTAKA

Badan Pusat Statistik. 2010. Hasil Sensus Penduduk 2010 Kota Palu Data Agregat per Kecamatan. Palu: Badan Pusat Statistik Kota Palu.

Bua, J. G. 2007. “Warga Palu Bentrok, 18 Luka-Luka dan 5 Rumah Terbakar” dalam (http://catatanposo.blogspot.com/2007/12/warga-palu-bentrok-18-luka-luka-dan-5.html) diakses 11 Nopember 2010.

______. 2007. “Rekaman dari Bentrok Nunu-Tavanjuka” dalam (http://catatanposo.blogspot.com/2007/12/rekaman-dari-bentrok-nunu-tawanjuka.html) diakses 11 Nopember 2010.

______. 2007. “Sisir Wilayah Bentrok, Polisi Temukan Puluhan Senjata” dalam (http://catatanposo.blogspot.com/2007/12/sisir-wilayah-bentrok-polisi-temukan_28.html) diakses 11 Nopember 2010.

Fisher, Simon dkk. 2001. Mengelola Konflik: Ketrampilan dan Strategi untuk Bertindak. SN Kartikasari, ed. Penerjemah SN Kartikasari dkk. London: Zed Books Ltd.

Hardjasaputra, A. Sobana. 2008. “Metode Penelitian Sejarah” dalam Materi Penyuluhan Workshop Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan; Penulisan Karya Ilmiah dan Perekaman Data. 12-14 Februari 2008. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, kerjasama dengan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

___________. 2008. “Pengantar Ilmu Sejarah” dalam dalam Materi Penyuluhan Workshop Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan; Penulisan Karya Ilmiah dan Perekaman Data. 12-14 Februari 2008. Bandung: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, kerjasama dengan Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Bandung.

OL-2. 2007. “Warga Nunu dan Tavanjuka Berdamai” dalam (http://koranindonesia.com/2007/12/19/warga-nunu-dan-tawanjuka-berdamai/) diakses 11 Nopember 2010.

Ciptakarya-Pekerjaan Umum. 2001. “Profil Kabupaten/Kota”, dalam (http://ciptakarya.pu.go.id/profil/profil/timur/sulteng/palu.pdf) diakses 11 Nopember 2010.

Sa’arin, Budi. 2010. “Manajemen Konflik” dalam (http://pesatgatra.com/index.php/component/content/article/34-berita-umum/101-manajemen-konflik) diakses 13 Nopember 2010.


Suparlan, Parsudi (ed). 2004. Bunga Rampai Ilmu Kepolisian Indonesia. Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

___________. 2005. Suku Bangsa dan Hubungan Antar-Suku Bangsa (edisi revisi). Jakarta: Yayasan Pengembangan Kajian Ilmu Kepolisian.

Syamsudin. 2007. “Permusuhan Berujung Bentrok Berdarah” dalam (http://buser.liputan6.com/berita/200712/152563/Permusuhan.Berujung.Bentrok.Berdarah) diakses 11 Nopember 2010.

­­­_________. 2007. “Usai Bentrok, Ratusan Senjata Ditemukan” dalam (http://buser.liputan6.com/berita/200712/152372/Usai.Bentrokan.Ratusan.Senjata.Ditemukan) diakses 11 Nopember 2010.

Terry, G.R. 1986. Principle of Management. (Edisi ke-6). (Winardi, Alih Bahasa). Bandung: Alumni.

Wahyudi. 2008. Manajemen Konflik dalam Organisasi. Bandung: Alfabeta.





[1] Dapat dilihat betapa konflik tersebut melibatkan ratusan pemuda antar kedua desa Nunu vs Tavanjuka melalui video yang diunggah jgbua di website youtube tanggal 28 Januari 2009 : http://www.youtube.com/watch?v=SfTTaFXBmm0 .
[2] Suku Kaili mengenal lebih dari dua puluh bahasa yang masih hidup dan dipergunakan dalam percakapan sehari-hari. Uniknya, di antara kampung yang hanya berjarak 2 km kita bisa menemukan bahasa yg berbeda satu dengan lainnya. Namun demikian, suku Kaili memiliki lingua franca, yang dikenal sebagai bahasa Ledo. Kata "Ledo" ini berarti "tidak". Bahasa Ledo ini dapat digunakan berkomunikasi dengan bahasa-bahasa Kaili lainnya. Bahasa Ledo yang asli (belum dipengaruhi bahasa para pendatang) masih ditemukan di sekitar Raranggonau dan Tompu. Sementara, bahasa Ledo yang dipakai di daerah kota Palu, Biromaru, dan sekitarnya sudah terasimilasi dan terkontaminasi dengan beberapa bahasa para pendatang terutama bahasa Bugis dan bahasa Melayu. Bahasa-bahasa yang masih dipergunakan dalam percakapan sehari-hari, yaitu bahasa Tara (Talise,Lasoani,Kavatuna dan Parigi), bahasa Rai (Tavaili sampai ke Tompe), bahasa Doi (Pantoloan dan Kayumalue); bahasa Unde (Ganti,Banawa,Loli,Dalaka, Limboro,Tovale dan Kabonga), bahasa Ado (Sibalaya, Sibovi,Pandere, bahasa Edo (Pakuli,Tuva), bahasa Ija (Bora, Vatunonju), bahsa Da'a (Jono'oge), bahasa Moma (Kulavi), dan bahasa Bare'e (Tojo, Unauna dan Poso). Semua kata dasar bahasa tersebut berarti "tidak".