Senin, 19 November 2012

POLRI DAN PERILAKU KORUPSI



Abstraksi: Kepolisian Negara Republik Indonesia (Polri) akhir-akhir ini dirundung berita menyudutkan yaitu Kasus Gayus. Awal kasus ini bergulir sudah ada penyidik Polri yang menerima suap yaitu Kompol Arafat dan kawan-kawan, berlanjut dengan Gayus yang bebas keluar masuk rumah tahanan (Rutan) dengan menyuap juga Kepala Rutan Brimob Kompol Iwan Siswanto. Perilaku menyimpang para anggota Polri tersebut semakin menambah panjang daftar perilaku korupsi di tubuh Polri. Bahkan lembaga survey menempatkan Polri masuk sebagai organisasi terkorup di Republik ini. Makalah ini disusun dengan metode kualitatif melalui pendalaman literatur dan analisis berdasarkan teori korupsi Simpson yang menjelaskan korupsi polisi bersifat sosiologis, sosiopsikologis dan organisasional. Perilaku korupsi sebenarnya sudah dimulai dari hal-hal terkecil yang terjadi secara internal, sampai penyuapan oleh masyarakat. Perlu upaya pencegahan agar polisi khususnya Polri secara individu dan organisasi dapat sembuh dari kanker korupsi secara komperhensif dengan beberapa jalan keluar seperti contoh kepolisian Amerika yang diidentifikasikan oleh Mc Cormack Ward.

Kata Kunci:
polri, perilaku korupsi, sosiologis, sosiopsiklogis, organisasional, pencegahan, identifikasi.





I.           PENDAHULUAN
Sudah bukan hal yang mengejutkan jika kita mendengar dari media massa dan pemerhati korupsi kalau polisi itu identik dengan suap. Apalagi akhir-akhir ini polisi (dalam hal ini Polri) dibombardir dengan pemberitaan di media tentang perilaku anggota Polri yang menerima suap. Kita lihat contoh kasus Gayus yang menyita begitu banyak perhatian publik, telah dengan sukses menyeret beberapa oknum anggota Polri karena kelihaian Gayus melakukan suap. Mulai saat awal kasus Gayus ditangani dalam tahap penyidikan oleh Bareskrim Polri yaitu kasus suap yang diterima beberapa penyidik Polri yang kita kenal dengan Kompol Arafat Cs, pembocoran recana penuntutan di kejaksaan, sampai dengan Gayus bisa pelisiran ke Bali karena bisa bebas keluar masuk tahanan Markas Brimob Polri dengan menyuap Kepala Rutannya yaitu Kompol Iwan Siswanto.
Fenomena suap menyuap diatas, bukanlah hal baru ditubuh Polri. Kasus penyuapan oleh Gayus ini menambah panjangnya daftar perilaku korupsi ditubuh Polri. Bahkan menurut Transparancy International Indonesia (TII) menyebutkan:
“Institusi kepolisian, parlemen, lembaga peradilan dan partai politik di Indonesia masih dinilai sangat buruk dari hasil pengukuran pengaruh korupsi “Global Corruption Barometer” (GCB) 2007 yang diluncurkan oleh Transparency International (TI) yang diambil dari 1010 responden dari Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Kenyataan tersebut seakan mengukuhkan hasil Indeks Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2006 yang pernah dikeluarkan oleh TI Indonesia yang juga menempatkan lembaga tersebut diperingkat atas atau terkorup”.

Lebih lanjut TII menyatakan indeks korupsi untuk Polri 4,2 dari skala 5 sebagai yang terkorup pada Global Corruption Barometer (GCB) tahun 2007 dalam empat zona titik rawan korupsi yaitu zona pelayanan, zona kewenangan, korupsi fiskal atau anggaran, korupsi di manajemen personalia[1]. Survei tersebut hendaknya dilihat sebagai trigger untuk merubah persepsi masyarakat terhadap Polri sehingga perlu suatu upaya extraordinary dari seluruh komponen kepolisian.
Makalah ini mendeskripsikan tentang hubungan polisi (Polri) dengan perilaku korupsi/praktik korupsi yang dapat diidentifkasikan melalui tipologi perilaku korupsi polisi dan praktik korupsi berdasarkan teori korupsi Simpson serta upaya pencegahan menurut Mc Cormack yang dalam hal ini penulis sebut sebagai upaya extraordinary. Sehingga memunculkan permasalahan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) apa saja tipologi korupsi polisi yang dapat mengidentifikasikan perilaku korupsi polisi, (2) bagaimana perilaku korupsi polisi ditinjau dari teori korupsi,  dan (3) apa upaya pencegahannya.

II.         POLRI DAN PERILAKU KORUPSI
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kepolisian ialah yang bertalian dengan polisi. Pengertian polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya) dan dapat berarti pula sebagai anggota badan pemerintah (pegawai negara yang bertugas menjaga keamanan dan sebagainya). Berdasarkan Undang-Undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian dijelaskan yang dimaksud dengan anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara Republik Indonesia, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang memiliki wewenang umum kepolisian.
Tugas dan kewenangan Polri sangatlah luas karena tidak hanya disebutkan dalam UU No 2/2002 tetapi juga dalam undang-undang lain yang mengaturnya terutama sebagai penyidik dan penyelidik[2]. Sebagai contoh tugas dan kewenangan polisi yang diatur dalam UU No 2/2002 pada pasal 13 sampai pasal 19 antara lain melakukan penyidikan dan penyelidikan semua tindak pidana, memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai lingkup kepolisian, menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin keamanan-ketertiban-kelancaran lalu lintas (kamtibcarlantas) di jalan dan sebagainya. Pada tugas dan kewenangan itulah yang dapat memunculkan perilaku korupsi, karena korupsi polisi terjadi ketika seorang polisi menerima atau dijanjikan keuntungan atau upah yang berarti karena melakukan sesuatu yang ada dalam kewenangannya atau diluar kewenangannya, atau melakukan diskresi legal dengan alasan yang tidak sesuai, atau menggunakan cara illegal untuk mencapai tujuan (Punch, 1985: 14).
Keuntungan atau upah yang diterima oleh seorang polisi atau sekelompok polisi dapat terkait dengan kewenangannya, misal: dalam penyidikan kasus/tindak pidana, penindakan pelanggaran lalu lintas, registrasi dan identifikasi kendaraan. Dalam penyidikan tindak pidana, contoh yang baru-baru ini terjadi adalah kasus Kompol Arafat Cs yang menerima upah/keuntungan dari Gayus karena menghilangkan pasal korupsi dalam berkas penyidikannya, merubah status tersangka menjadi saksi untuk Roberto Antonius, pembukaan blokir rekening Roberto Santonius. Dalam penindakan pelanggaran lalu lintas biasanya pelanggar dimintai sejumlah uang agar tidak ditilang, dan untuk registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor biasanya pemohon harus mengeluarkan sejumlah uang untuk memperpendek birokrasi atau mendapatkannya dengan cara instan tanpa perlu melewati prosedur.
Upah tidak hanya bersifat personal (uang, hadiah, akses pada kekuasaan) tapi juga bersifat organisasional (promosi, dukungan sejawat, izin atasan) misal: “budaya setor” oleh anggota kepada pimpinannya sehingga penilaian pimpinan selalu baik dan mendapatkan promosi jabatan atau akan bertahan lama menduduki jabatan “basah”, melakukan pungli atas izin atasan dan dukungan sejawat yang semua sama-sama melakukan pungli. Upah dapat juga selain materi, misalnya: kenaikan pangkat sebagai hasil memajukan sasaran institusi melalui cara yang tidak dibenarkan, misalnya: membongkar sindikat narkoba yang sebenarnya adalah “peliharaannya” karena tidak lagi “loyal” (memberikan upeti atau hadiah) maka yang bersangkutan mendapatkan kenaikan pangkat. Upah membedakan korupsi dari bentuk lain pelanggaran polisi, yaitu: “kebrutalan” yang bukan kepanjangan dari tujuan organisasi (tidur saat bertugas, melakukan kepentingan pribadi saat bertugas, mendapatkan penugasan yang nyaman, ketidakhadiran, dan jalan pintas administratif).
Ada empat zona titik rawan korupsi di kepolisian yakni (1) "zona pelayanan" dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya, (2)  korupsi di zona kewenangan, khususnya dalam tugas selaku penegak hukum, (3) Korupsi fiskal atau anggaran, dalam pos belanja barang, (4) korupsi di manajemen personalia, khususnya saat rekruitmen, promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis. (Kastorius Sinaga, 2006).  Zona pelayanan dilakukan dengan cara memperpendek birokrasi atau prosedur yang semestinya (misal: pembuatan SIM-STNK-BPKB (SSB), Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK), Izin Keramaian dan lain-lain), tidak melalui pemeriksaan yang semestinya dilakukan (misal: izin senjata api, izin keramaian, izin untuk orang asing dan lain-lain). Kemudian, zona kewenangan dilakukan dengan memanipulasi alat bukti (merubah pasal menjadi pasal yang ringan ancaman hukumannya, “memelihara” bandar narkoba/bandar judi/prostitusi/pemalsu merk/pembajak CD-DVD, dan lain-lain). Selanjutnya, zona fiskal atau anggaran dilakukan dengan cara memanipulasi data fiskal (misal: mark up kuantitas barang, menurunkan kualitas barang, fiktif dalam kegiatan, dan lain-lain). Dan terakhir, zona manajemen personalia yang dilakukan melalui “lobi-lobi” untuk meluluskan, “budaya setor” mendapatkan “jabatan basah” (misal: untuk lulus sekolah polisi (Secaba, Akpol, Secapa, Sespim, dan lain-lain) harus membayar sejumlah uang, menyetor sejumlah uang secara periodik jika berhasil duduk di jabatan strategis (Kanit, Kasat, Direktur, dan lain-lain), menyetor sejumlah uang untuk ikut pendidikan luar negeri atau kursus di luar negeri).
Menurut Barker dan Roebuck (1974) menyebutkan ada delapan tipologi korupsi polisi yaitu: (1) korupsi kewenangan dengan menerima atau meminta sesuatu baik makanan, minuman, pelayanan atau diskon gratis atau sejumlah uang atau fasilitas gratis, (2) penyuapan dengan menerima atau meminta uang, barang, dan pelayanan dari perorangan (pengacara, dokter, pengelola tempat, dan sebagainya) atau perusahaan (bengkel, kantor pelayanan, perusahaan jasa pindahan, dan sebagainya), (3) pencurian opotunistik dengan mencuri dari tersangka, korban, Tempat Kejadian Perkara (TKP) atau lokasi yang tidak dilindungi, (4) pemerasan dengan mengambil uang dari pelaku kejahatan atau pelanggar lalu lintas sebagai imbalan tidak menjatuhi hukuman, (5) perlindungan kegiatan ilegal dengan mengambil uang atau upah dari operator susila atau dari perusahaan legal yang melakukan pratik ilegal sebagai imbalan karena melindungi mereka dari tindakan penegakan hukum, (6) penyuapan dengan mengambil uang atau upah karena membatalkan tuntutan yang disangkakan atau membuang kartu tilang lalu lintas yang telah dikeluarkan, (7) kegiatan kriminal langsung dengan melakukan kejahatan seperti mencuri atau merampok dengan menggunakan informasi yang ada pada kepolisian tetapi, sebaliknya tidak melibatkan penyalahgunaan kewenangan polisi, (8) hadiah internal dengan menjual penugasan kerja, cuti, hari libur, bukti dan promosi.
Selain delapan tipologi tersebut, ada penambahan lain untuk memasukan perbuatan korupsi yang dirancang untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan peningkatan karir polisi yang korup tersebut (Punch, 1985: 11) yaitu korupsi kombatif dengan melakukan penanaman/penambahan bukti, pemalsuan kesaksian, intimidasi saksi, membayar informan dengan narkoba ilegal untuk melakukan penahanan, menjebak sehingga mendapatkan kasus/perkara, atau mendapatkan hukuman lebih lama bagi penjahat.
Masih ada tipologi lain yang menggunakan analisis kedalaman korupsi, tingkat organisasi, dan sumber penyuapan (Sherman, 1974: 7). Kadangkala walaupun sebuah kesatuan polisi yang meng”haram”kan korupsi kadang masih menghasilkan “apel busuk” yaitu sebutan untuk polisi berseragam yang kadang-kadang menerima suap ketika bertugas sebagai patroli lalu lintas dan “saku busuk” yaitu sebutan untuk sekelompok kecil polisi yang ditugaskan menegakan hukum susila (Vice Control-VC) yang bekerja sama dalam korupsi level bawah. Keduanya dapat disebut sebagai street corruption karena dilakukan ditataran jalanan/operasional kepolisian di tingkat bawah.
Tipe kedua, unorganized corruption culture “korupsi tak terorganisasi yang membudaya” terjadi ketika persentase terbesar pegawai lembaga semua korup, tetapi polisi bertindak sendiri-sendiri dan hanya sedikit yang berkolusi. Misalnya: ketika stigma bahwa berurusan dengan bagian personalia pasti membutuhkan biaya padahal bisa jadi pimpinannya melarang itu maka sebagian oknum memanfaatkannya dan bertindak secara sendiri-sendiri. Tipe ketiga, organized corruption culture “korupsi terorganisisasi yang membudaya” mencakup situasi ketika korupsi tidak hanya meluas tetapi didalamnya polisi dan koruptor terorganisasi secara rapi. Jenis korupsi ini dapat meluas ke jajaran kepolisian tertinggi dan mengizinkan pengaruh kejahatan terorganisasi dalam upaya penegakan hukum. Misalnya: “budaya setor” kepada high rank officer / pejabat tinggi kepolisian baik oleh level bawah kepolisian atau organisasi kejahatan sehingga memberikan diskriminasi penegakan hukum, contoh: bos judi atau bos kayu yang bisa menggeser kedudukan pejabat polisi di suatu tempat karena “kedekatannya” dengan pejabat tinggi polisi. Dengan beberapa tipologi korupsi polisi yang telah dijelaskan, maka banyak pengamat berkesimpulan bahwa tidak ada jajaran kepolisian yang dapat dijamin bebas dari korupsi atau paling tidak, ada potensi korupsi.
Salah satu analisa terhadap perilaku korupsi/praktik korupsi polisi melibatkan kontradiksi dan kendala dalam hubungan antara polisi dan masyarakat, terutama masyarakat demokratis adalah di satu sisi polisi diwajibkan untuk menegakan hukum, di sisi lainnya memelihara keamanan dan ketertiban serta melakukan kedua hal ini tanpa melanggar hak asasi manusia. Ketidakkonsistenan dan konflik di antara tujuan-tujuan tersebut, kerap menimbulkan kegagalan untuk memenuhi salah satunya, seperti yang digambarkan Bruce Smith sebagai police problems “masalah polisi” (Bruce Smith, 1960: 2-3).
Kadangkala perintah yang diberikan kepada polisi sangat membingungkan dan bertentangan sehingga tugas mereka tidak dapat dikerjakan dan hal ini membawa pada keadaan “kepalsuan dan kemunafikan” yang pada gilirannya mengarah pada subkultur polisi dengan ciri solidaritas internal yang kuat, perasaan bermusuhan dengan warga masyarakat lainnya, sistem nilai sendiri dan proses mensosialisasikan calon anggota polisi. Subkultur ini didukung dengan hierarki yang menuntut efesiensi daripada legalitas dan kepemimpinan dari posisi teratas turut berbagi nilai dan persepsi (Goldstein, 1977: 163).
Untuk menjelaskan kaitan empiris antara korupsi polisi dengan faktor sosial, politik, ekonomi, historis dan kultur tertentu, maka menurut Simpson (1977: 87) faktor-faktor tersebut meliputi pengaruh kejahatan terorganisir, kebutuhan untuk menegakan hukum yang tidak popular, perekrutan personel bermutu rendah, penyalahgunaan kewenangan diskresi, pelatihan calon anggota polisi yang buruk, kepemimpinan yang buruk, kontrol administrasi yang tidak mencukupi, gaji rendah, status polisi yang rendah, korupsi politik, korupsi di bidang lain dalam sistem peradilan pidana, standar moral yang rendah di bagian lain dalam masyarakat, dan konflik pengalaman polisi dalam peran mereka saat menjalankan tugas hariannya.
Kerangka teoritis yang paling umum digunakan untuk menjelaskan korupsi polisi bersifat sosiologis, sosio-psikologis, dan organisasional (Simpson, 1997: 112). Teori sosiologis lebih menekankan “kode etik” yaitu aturan tidak tertulis yang menetapkan apa yang diperbolehkan dan apa yang dibutuhkan dan yang ditegaskan oleh polisi sejawat. Kode etik ini, yang melarang solidaritas dan kerahasiaan di hadapan publik yang diyakini bersikap acuh atau sangat memusuhi polisi, justru memungkinkan dan bahkan meminta agar polisi berpartisipasi dalam perbuatan korupsi yang sangat dimungkinkan dalam masyarakat yang bermoral rendah. Beberapa teori ini menjelaskan bahwa korupsi mendukung nilai yang pada dasarnya sama seperti nilai dalam masyarakat yang lebih luas dan memungkinkan polisi menumpuk kekayaan sambil mengatur dan mengontrol aktivitas ilegal (perjudian, pelacuran, narkoba) yang oleh masyarakat ambivalen dianggap ilegal tetapi tidak bersungguh-sungguh memberantasnya. Hal ini memungkinkan mereka mengakomodasi hasrat yang bertentangan dalam masyarakat pluralistik (Bracey, 1976) dan dengan manipulasi bukti dan kesaksian, membiarkan polisi melakukan penangkapan yang akan berhasil dituntut dengan sistem legal yang membuatnya sulit untuk melakukan penahanan semacam itu (Manning, 1974). Varian dari pendekatan sosiologis adalah subkultur polisi yaitu suatu kultur pekerjaan yang dicirikan dengan frustasi kerja polisi. Menurut Wilson (1963: 138) menekankan aspek fungsional subkultur ini dalam memberikan “basis harga diri yang terbebas dari sikap warga sipil” pada polisi.
Teori sosio-psikologis berfokus pada interaksi individu dan lingkungannya. Mereka tidak berusaha menjelaskan mengapa korupsi terjadi pada awalnya, melainkan mengapa beberapa polisi menjadi korup sedangkan yang lainnya tidak. Penjelasan semacam itu didasarkan pada konsep “karir moral” (Stoddard, 1968: 204) yaitu sebuah proses yang dimulai dengan pelanggaran yang relatif kecil dan lambat laun berkembang menjadi perbuatan yang lebih serius. Pandangan terhadap korupsi disini menjelaskan mengapa administrator polisi prihatin dengan tindakan yang dianggap sama sepelenya dengan menerima kopi gratis di rumah makan, mereka khawatir perbuatan itu menjadi langkah pertama dari proses yang akan membuat polisi semakin menerima nilai-nilai dari “kode etik” tidak tertulis tadi. Selain “kode etik” juga ada standar yang ditetapkan masyarakat untuk mengatur prilaku polisi dan juga sistem moral individu “yang didapat dari sosialisasi sebelumnya dalam interaksi keluarga, keagamaan, pendidikan dan rekan sejawat”. Karena setiap polisi mengelaborasi dan menerapkan seperangkat standar ini secara berbeda-beda, faktor struktural saja tidak akan menentukan apakah atau seberapa jauh polisi berpartisipasi dalam tindak korupsi.
Teori organisasional menjelaskan bahwa struktur birokratis dan paramiliter kepolisian menjadikan latar yang menghasilkan korupsi, atau paling tidak menjadi toleran terhadap perbuatan korupsi. Misalnya, dengan melembagakan kerahasiaan manajerial dan mendorong polisi agar tidak meneruskan keluhan terhadap rekan sejawatnya, hierarki kepolisian mendorong penggunaan “apel busuk” / mengatakan “hanya oknum polisi” untuk membela diri dari tuduhan korupsi yang dilemparkan media massa, masyarakat, atau lembaga lain (Misner, 1975). Ketidakfleksibelan birokrasi kepolisian tradisional mendorong terbentuknya sistem pengawasan organisasi yang berdasarkan paham otoriter dan ancaman, sedangkan sistem penghargaannya mendorong loyalitas pada organisasi dan individu didalamnya dan bukan pada prinsip moralitas dan profesionalisme.
Upaya pencegahan yang sukses dilakukan pada kepolisian Amerika dengan merancang sejumlah ukuran untuk mencegah, mendeteksi dan menghukum korupsi antara lain melalui kepemimpinan positif, pengaruh politik, kewenangan dan tanggung jawab, kebijakan dan prosedur, satuan provos, program kemitraan lapangan, pembalikan (tukar kepala), dan pengujian integritas (Mc Cormack Ward, 1979).
Pertama adalah kepemimpinan positif, disini apabila kepala polisi (dari tingkat atas sampai kebawah) efektif mempertunjukan dengan teladan dan dukungan, juga dengan pernyataan, bahwa kebijakan antikorupsi sangatlah penting untuk institusi polisi. Dalam institusi yang melekat dengan reputasi pelanggaran, kepala polisi yang baru menemukan bahwa sangatlah penting untuk mengambil langkah segera dalam administrasi kepolisian dan kalau menunggu terlalu lama dapat membuat mustahil upaya untuk mengatasi permusuhan yang akan dihasilkan oleh metode antikorupsi terhadap mereka yang tunduk pada “kode etik” tidak tertulis tadi. Perlu keberanian dan ketulusan hati seorang kepala polisi untuk menyatakan perang melawan korupsi dan mampu menjadi teladan, dirinya juga bersih dan tidak mau kompromi dengan perilaku korupsi.
Yang kedua adalah mampu menghilangkan pengaruh politik, karena pengaruh politik sangatlah mengganggu administrasi kepolisian manakala politikus meminta hukum tertentu tidak ditegakkan, pelanggaran hukum diabaikan, atau mereka diperbolehkan mempengaruhi pengangkatan dan promosi petugas polisi. Karena kedekatan politikus dengan petinggi polisi yang dapat memunculkan “area abu-abu”. Namun, jika kepala polisi akan berhasil memerangi korupsi jika melihat bahwa ketika pengaruh politik eksternal mendikte keputusan kepolisian, maka kepala polisi akan kehilangan kepercayaan dari para anak buahnya dan masyarakat, dan mereka telah menjelaskan bahwa pengelolaan institusi kepolisian menjadi tanggung jawab mereka. Kepala polisi harus tegas terbebas dari pengaruh politik, walaupun secara politik Presiden membutuhkan persetujuan DPR untuk mengangkat sosok kepala polisi/Kapolri. Kapolri tegas menentang campur tangan politik terhadap setiap lini operasional dan internal Polri menegakkan profesionalisme dengan standar yang jelas dan bersih dari perilaku korupsi.
Ketiga adalah kewenangan dan tanggung jawab semua anggota kepolisian, termasuk supervisor tingkat satu (perwira pertama) dan tingkatan lebih tinggi, bertugas mengambil tindakan melawan korupsi dan kegagalannya berakibat pada tindakan indisipliner bagi semua petugas dalam rantai komandonya. Hal tersebut merupakan rekomendasi Knapp Coomission yang menyatakan bahwa tanggung jawab utama bagi semua penyidikan korupsi dan yang paling serius diberikan pada komando terkait dan bukan pada markas besar (Mabes). Disini setiap komandan dituntut untuk rela, ikhlas dan berani melawan perilaku korupsi dan bersedia mundur dari jabatannya jika dalam rantai komandonya terdapat korupsi, serta berani menghukum siapa saja yang korupsi. Hal ini tentunya didukung kebijakan secara nasional dalam internal polisi sendiri. Jadi akan timbul atmosfir, kalau kamu korupsi maka kamu akan tersingkir dari polisi.
Keempat yaitu kebijakan dan prosedur terutama kebijakan antikorupsi harus jelas, tidak ambigu dan disebar secara sistematis pada semua petugas dalam institusi kepolisian. Perencanaan yang cermat menghasilkan seperangkat prosedur yang menjelaskan wilayah tindakan yang ditangani oleh supervisor atau petugas komando dan wilayah yang ditangani oleh satuan provos. Hal ini mesti didukung perangkat lunak berupa aturan, standarisasi dan prosedur yang jelas dalam kebijakan antikorupsi serta perangkat keras yang mumpuni yaitu personel yang teruji, berbudi pekerti didukung dengan sarana prasarana yang sangat baik.
Kelima adalah satuan provos yang melakukan upaya berkesinambungan untuk mendeteksi masalah nyata atau potensial dari pelanggaran polisi dan menyidik kasusnya dengan lebih serius. Satuan provos biasanya melapor kepada kepala atau wakil kepala polisi, jumlah anggotanya ditentukan oleh faktor besarnya institusi, jumlah pengaduan yang diterima, jumlah kasus yang ditangani, tanggung jawab nyata satuan, dan sifat masalah pelanggaran. Perlu didukung kebijakan kepala polisi untuk meningkatkan profesionalitas, sistem penghargaan yang jelas (misal: dengan sistem persentase dari jumlah hasil korupsi yang diungkapnya, tentunya harus didukung dengan payung hukum) sehingga membuat satuan provos bebas dari pengaruh apapun yang dapat merusak kredibilitasnya.
Keenam yaitu program kemitraan lapangan, dalam hal ini para taruna polisi / calon anggota polisi yang lagi dididik dan polisi veteran diberi tanggung jawab khusus untuk mendapatkan dan melaporkan informasi mengenai korupsi atau pelanggaran lain dengan cara menyamar. Kendati program ini diumumkan secara internal, identitas rekanan yang melakukan penyamaran tetap dirahasiakan. Program semacam ini sangat berguna khususnya bagi kepolisian di mana melaporkan polisi sejawat jarang dilakukan dan dianggap melanggar “kode etik” tidak tertulis, meskipun personel kepolisian itu diperkirakan dapat lebih memusuhi mereka. Pemberdayaan  polisi veteran (dalam hal ini Keluarga Besar Persatuan Purnawiran Polri/KBPPP) harus dipayungi dengan aturan yang jelas, standarisasi kinerja dan semangat perubahan subkultur polisi.
Ketujuh adalah pembalikan (tukar kepala), terjadi apabila seorang polisi yang ditemukan korup diberi janji kekebalan atau iming-iming sejenis sebagai barter atas bukti yang dikumpulkan mengenai polisi lain yang korup, hal ini melibatkan sarana perekaman. Cara ini terbukti efektif di kepolisian Amerika dalam membongkar dan menjatuhkan tuntutan terhadap korupsi sistematik, meskipun etika mendorong polisi untuk korupsi masih diperdebatkan. Hal ini bisa diadopsi oleh Polri dengan menempatkan satuan propam/provos sebagai ujung tombak untuk melaksanakan program ini.
Terakhir, pencegahan dengan pengujian integritas. Unsur ini terdiri atas percobaan seperti meninggalkan dompet penuh uang di suatu tempat yang kemungkinan akan ditemukan polisi dan menunggu apakah polisi akan mengembalikan dompet yang ditemukannya atau menyuruh informan untuk melakukan pelanggaran lalu lintas dan menyuap petugas dengan sejumlah uang. Percobaan ini dapat diinformasikan atau tidak bahwa ujian integritas ini sedang dilaksanakan. Walaupun kepolisian yang memiliki masalah korupsi memandang kegunaan pengujian integritas ini sebagai piranti penyidikan dan pencegahan, cara ini memang rawan jebakan sanksi etika dan hukum. Hal ini sudah dimulai oleh Polri dalam tataran administrasi yaitu penandatangan fakta integritas bagi setiap pimpinan kesatuan, dan hal ini perlu ditingkatkan menjadi suatu gerakan moral menjunjung integritas dan membudayakan malu untuk korupsi (melalui sanksi sosial jika korupsi).
Upaya pencegahan tersebut diatas memerlukan suatu upaya yang extraordinary (luar biasa), diatur dengan jelas, mendapat dukungan seluruh komponen kepolisian dan tekad seluruh polisi untuk mengubah subkultur mereka sendiri serta mulai dari setiap individu polisi. Selain penegakan hukum yang kosisten, perlu suatu mekanisme “pengkucilan” (sanksi sosial) bagi yang terlibat korupsi dan semangat profesionalisme (meraih standar tingkah laku dan kinerja yang paling tinggi) dengan menjunjung tinggi kode etik kepolisian secara deontologi, yaitu suatu sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud si pelaku dalam melakaukan perbuatan tersebut (K. Bertens, 2007: 254).

III.       KESIMPULAN
Dari penjelasan tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa polisi dalam hal ini Polri memiliki hubungan dengan perilaku korupsi dan bahwa tidak ada jajaran kepolisian yang dapat dijamin bebas dari korupsi atau paling tidak, ada potensi korupsi. Hal ini dikarenakan tugas dan kewenangan yang dimiliki Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang disyaratkan oleh undang-undang.
Ada bermacam-macam tipologi korupsi polisi antara lain: (1) korupsi kewenangan, (2) penyuapan dengan menerima atau meminta uang, barang, dan pelayanan dari perorangan atau perusahaan, (3) pencurian opotunistik, (4) pemerasan dengan mengambil uang dari pelaku kejahatan atau pelanggar lalu lintas sebagai imbalan tidak menjatuhi hukuman, (5) perlindungan kegiatan ilegal, (6) penyuapan dengan mengambil uang atau upah karena membatalkan tuntutan yang disangkakan atau membuang kartu tilang lalu lintas yang telah dikeluarkan, (7) kegiatan kriminal langsung dengan melakukan kejahatan, tetapi tidak melibatkan penyalahgunaan kewenangan polisi, (8) hadiah internal dengan menjual penugasan kerja, cuti, hari libur, bukti dan promosi, (9) korupsi kombatif, (10) street corruption yang dilakukan ditataran jalanan, istilah “apel busuk” dan “saku busuk”, (11) unorganized corruption culture “korupsi tak terorganisasi yang membudaya”, (12) organized corruption culture “korupsi terorganisisasi yang membudaya”.
Perilaku korupsi polisi ditinjau dari teori korupsi Simpson adalah teori sosiologis yang lebih menekankan “kode etik” yang tidak tertulis memperbolehkan perilaku korupsi dan secara aspek fungsional subkultur “basis harga diri yang terbebas dari sikap warga sipil” pada polisi. Kedua, teori sosio-psikologis berfokus pada interaksi individu dan lingkungannya dan “karir moral” kalau terbiasa korupsi yang kecil-kecil maka akan terbiasa juga korupsi yang besar. Ketiga, teori organisasional menjelaskan bahwa struktur birokratis dan paramiliter kepolisian menjadikan latar yang menghasilkan korupsi, atau paling tidak menjadi toleran terhadap perbuatan korupsi dan ketidakfleksibelan birokrasi kepolisian dengan sistem pengawasan organisasi yang otoriter dan ancaman, sedangkan sistem penghargaannya mendorong loyalitas pada organisasi dan individu didalamnya dan bukan pada prinsip moralitas dan profesionalisme.
Upaya pencegahan yang sukses dilakukan pada kepolisian Amerika dengan mencegah, mendeteksi dan menghukum korupsi antara lain melalui kepemimpinan positif, pengaruh politik, kewenangan dan tanggung jawab, kebijakan dan prosedur, satuan provos, program kemitraan lapangan, pembalikan (tukar kepala), dan pengujian integritas. Upaya pencegahan tersebut dapat Polri adopsi dengan upaya yang extraordinary (luar biasa) melalui dukungan seluruh komponen kepolisian dan tekad seluruh polisi untuk mengubah subkultur mereka sendiri dan mulai dari setiap individu. Upaya luar biasa berikutnya dengan penegakan hukum yang kosisten (bila perlu sanksi pemecatan), dan perlu suatu mekanisme “pengkucilan” secara sosial bagi yang terlibat korupsi. Terakhir, upaya luar biasa mesti dilakukan dengan semangat profesionalisme (meraih standar tingkah laku dan kinerja yang paling tinggi).






DAFTAR PUSTAKA

Barker, Thomas dan Julien B. Roebuck. 1974. An Empirical Typology of Police Corruption: A Study in Organizational Deviance. Springfield: Charles C. Thomas.

Bertens, K. 2007. Etika. Cetakan ke-10.Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Bracey, Dorothy H. 1976. A Functional Approach to Police Corruption. New York: Jhon Jay Press.

______, 1995. “Police Corruption”. The Encyclopedia of Police Science, William G. Bailey (ed) edisi Bahasa Indonesia (2005). Jakarta: YPKIK.

Departemen Pendidik Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Cetakan ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.

Goldstein, Herman. 1977. Policing a Free Society. Cambridge: Ballinger.

Kompasdotcom. 2010. “Polri Klaim Keseriusan dalam Kasus Gayus” Kompas.com, 1 Desember 2010. (http://nasional.kompas.com/read/2010/12/01/19570833/Polri.Klaim.Keseriusan.dalam.Kasus.Gayus). Diakses tanggal 4 Desember 2010.

Mc Cormack, Robert dan Richard H. Ward. 1979. An Anti-Corruption Manual for Administrators in Law Enforcement. New York: Jhon Jay Press.

Manning, Peter K. “Police Lying”. Urban Life and Culture 3: hlm. 283-306.

Misner, Gordon E. 1975. “The Organizational and Social Setting of Police Corruption”. Police Journal 48: 45”51.

Punch, Maurice. 1985. Conduct Unbecoming. New York: Tavistock Publication.

Sherman, Lawrence W. 1978. Scandal and Reform: Controlling Police Corruption. Los Angeles and Berkeley: University of California Press.

_______, (ed). 1974. “Toward a Sociological Theory of Police Corruption”. Police Corruption: A Sociological Perspective. Garden City, NY: Anchor.

Simpson, Anthony E. 1977. The Literature of Police Corruption. New York: Jhon Jay Press.

Smith, Bruce. 1960. Police Systems in United States. Edisi ke-2. New York: Harper and Row.

Stoddard, E. P. 1968. “The Informal Code of Police Deviancy: A Group Approach to Bluecoat Crime”. Journal of Criminal Law, Criminology and Police Science 59 (2):201-12.

Wilson, James Q. 1963. “The Police and Their Problems: A Theory”. Public Policy 12:189-216.

Transparancy International Indonesia (TII). 2007. “Polisi, Parpol, Parlemen dan Peradilan Dianggap paling Terpengaruh dari Korupsi” Press Release GBC 2007. 6 Desember 2007. Jakarta : TII.

Tempointeraktif. 2010. “Kompol Arafat mulai Bernyanyi”, Tempo Interaktif, 19 Juli 2010. (http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/07/19/brk,20100719-264516,id.html). Diakses tanggal 4 Desember 2010.
Undang-Undang nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.

Peraturan Kapolri No. Pol. : 7 tahun 2006 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.




[1] Press Release Transparancy International Indonesia tanggal 6 Desember 2007 berjudul Polisi, Parpol, Parlemen dan Peradilan Dianggap Paling Terpengaruh dari Korupsi, yang isinya antara lain sebagai berikut:
Dalam konteks Indonesia, prosentasi responden yang membayar suap mencapai 31%. Dampak korupsi dalam sektor dan institusi yang berbeda menunjukan lembaga kepolisian mendapatkan skor tertinggi dengan nilai indeks 4,2 disusul lembaga peradilan dan DPR yang indeksnya 4,1. Sedangkan partai politik nilainya 4,0, disusul pelayanan perijinan dan perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6. Semakin tinggi indeks, semakin dipersepsikan terkorup.
Tingginya indeks kepolisian kita dalam GCB 2007, menunjukan citra institusi ini yang buruk dimata publik. Secara kasat mata bisa dilihat dari kekecewaan masyarakat selama ini terhadap pelayanan administrasi kendaraan, serta pembayaran suap dan pungli dalam pelanggaran lalu-lintas dan penanganan perkara. Pengadaan barang dan jasa di kepolisian juga bermasalah. Belum lama ini terungkap dugaan korupsi pengadaan kendaraan lapis baja (APC) di Mabes Polri pada 2001 sebesar Rp1,3 miliar, seperti dilaporkan oleh sebuah LSM.
Ada empat zona titik rawan korupsi di kepolisian yakni di "zona pelayanan" dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan sebagainya. Korupsi di zona kewenangan, khususnya dalam tugas selaku penegak hukum. Korupsi fiskal atau anggaran, dimana pos belanja barang, khususnya persenjataan telah menjadi sasaran empuk pemburu ekonomi rente. Terakhir, korupsi di manajemen personalia, khususnya saat rekruitmen, promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis. (Kastorius Sinaga, 2006). Penelitian mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) belum lama ini telah memperkuat sinyalemen ini. Penelitian mereka di 19 kepolisian daerah (Polda) menemukan fakta: untuk menjadi polisi, seorang calon terpaksa harus membayar Rp 40 juta.
[2] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan definisi dari:
1. Penyidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
4. Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar