Abstraksi: Kepolisian Negara Republik Indonesia
(Polri) akhir-akhir ini dirundung berita menyudutkan yaitu Kasus Gayus. Awal
kasus ini bergulir sudah ada penyidik Polri yang menerima suap yaitu Kompol
Arafat dan kawan-kawan, berlanjut dengan Gayus yang bebas keluar masuk rumah
tahanan (Rutan) dengan menyuap juga Kepala Rutan Brimob Kompol Iwan Siswanto.
Perilaku menyimpang para anggota Polri tersebut semakin menambah panjang daftar
perilaku korupsi di tubuh Polri. Bahkan lembaga survey menempatkan Polri masuk sebagai
organisasi terkorup di Republik ini. Makalah ini disusun dengan metode
kualitatif melalui pendalaman literatur dan analisis berdasarkan teori korupsi
Simpson yang menjelaskan korupsi polisi bersifat sosiologis, sosiopsikologis
dan organisasional. Perilaku korupsi sebenarnya sudah dimulai dari hal-hal terkecil
yang terjadi secara internal, sampai penyuapan oleh masyarakat. Perlu upaya
pencegahan agar polisi khususnya Polri secara individu dan organisasi dapat
sembuh dari kanker korupsi secara komperhensif dengan beberapa jalan keluar
seperti contoh kepolisian Amerika yang diidentifikasikan oleh Mc Cormack Ward.
Kata Kunci: polri, perilaku korupsi, sosiologis, sosiopsiklogis, organisasional, pencegahan, identifikasi.
I.
PENDAHULUAN
Sudah
bukan hal yang mengejutkan jika kita mendengar dari media massa dan pemerhati
korupsi kalau polisi itu identik dengan suap. Apalagi akhir-akhir ini polisi
(dalam hal ini Polri) dibombardir dengan pemberitaan di media tentang perilaku
anggota Polri yang menerima suap. Kita lihat contoh kasus Gayus yang menyita
begitu banyak perhatian publik, telah dengan sukses menyeret beberapa oknum
anggota Polri karena kelihaian Gayus melakukan suap. Mulai saat awal kasus
Gayus ditangani dalam tahap penyidikan oleh Bareskrim Polri yaitu kasus suap
yang diterima beberapa penyidik Polri yang kita kenal dengan Kompol Arafat Cs,
pembocoran recana penuntutan di kejaksaan, sampai dengan Gayus bisa pelisiran
ke Bali karena bisa bebas keluar masuk tahanan Markas Brimob Polri dengan
menyuap Kepala Rutannya yaitu Kompol Iwan Siswanto.
Fenomena
suap menyuap diatas, bukanlah hal baru ditubuh Polri. Kasus penyuapan oleh
Gayus ini menambah panjangnya daftar perilaku korupsi ditubuh Polri. Bahkan
menurut Transparancy International
Indonesia (TII) menyebutkan:
“Institusi kepolisian, parlemen, lembaga peradilan dan partai
politik di Indonesia masih dinilai sangat buruk dari hasil pengukuran pengaruh
korupsi “Global Corruption Barometer” (GCB) 2007 yang diluncurkan oleh
Transparency International (TI) yang diambil dari 1010 responden dari Jakarta,
Bandung, dan Surabaya. Kenyataan tersebut seakan mengukuhkan hasil Indeks
Persepsi Korupsi Indonesia tahun 2006 yang pernah dikeluarkan oleh TI Indonesia
yang juga menempatkan lembaga tersebut diperingkat atas atau terkorup”.
Lebih lanjut TII menyatakan
indeks korupsi untuk Polri 4,2 dari skala 5 sebagai yang terkorup pada Global Corruption Barometer (GCB) tahun
2007 dalam empat zona titik rawan korupsi yaitu zona pelayanan, zona
kewenangan, korupsi fiskal atau anggaran, korupsi di manajemen personalia[1].
Survei tersebut hendaknya dilihat sebagai trigger
untuk merubah persepsi masyarakat terhadap Polri sehingga perlu suatu upaya
extraordinary dari seluruh komponen
kepolisian.
Makalah ini
mendeskripsikan tentang hubungan polisi (Polri) dengan perilaku korupsi/praktik
korupsi yang dapat diidentifkasikan melalui tipologi perilaku korupsi polisi
dan praktik korupsi berdasarkan teori korupsi Simpson serta upaya pencegahan
menurut Mc Cormack yang dalam hal ini penulis sebut sebagai upaya extraordinary. Sehingga memunculkan
permasalahan yang dapat dijelaskan sebagai berikut: (1) apa saja tipologi
korupsi polisi yang dapat mengidentifikasikan perilaku korupsi polisi, (2)
bagaimana perilaku korupsi polisi ditinjau dari teori korupsi, dan (3) apa upaya pencegahannya.
II.
POLRI DAN PERILAKU KORUPSI
Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia, kepolisian ialah yang bertalian dengan polisi.
Pengertian polisi adalah badan pemerintah yang bertugas memelihara keamanan dan
ketertiban umum (menangkap orang yang melanggar undang-undang dan sebagainya)
dan dapat berarti pula sebagai anggota badan pemerintah (pegawai negara yang
bertugas menjaga keamanan dan sebagainya). Berdasarkan Undang-Undang nomor 2
tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, kepolisian adalah
segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi sesuai dengan
peraturan perundang-undangan. Kemudian dijelaskan yang dimaksud dengan anggota
Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian
Negara Republik Indonesia, pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang
memiliki wewenang umum kepolisian.
Tugas dan kewenangan
Polri sangatlah luas karena tidak hanya disebutkan dalam UU No 2/2002 tetapi
juga dalam undang-undang lain yang mengaturnya terutama sebagai penyidik dan
penyelidik[2].
Sebagai contoh tugas dan kewenangan polisi yang diatur dalam UU No 2/2002 pada
pasal 13 sampai pasal 19 antara lain melakukan penyidikan dan penyelidikan
semua tindak pidana, memberikan pelayanan kepada masyarakat sesuai lingkup
kepolisian, menyelenggarakan segala kegiatan dalam menjamin
keamanan-ketertiban-kelancaran lalu lintas (kamtibcarlantas) di jalan dan
sebagainya. Pada tugas dan kewenangan itulah yang dapat memunculkan perilaku
korupsi, karena korupsi polisi terjadi ketika seorang polisi menerima atau
dijanjikan keuntungan atau upah yang berarti karena melakukan sesuatu yang ada
dalam kewenangannya atau diluar kewenangannya, atau melakukan diskresi legal
dengan alasan yang tidak sesuai, atau menggunakan cara illegal untuk mencapai
tujuan (Punch, 1985: 14).
Keuntungan
atau upah yang diterima oleh seorang polisi atau sekelompok polisi dapat
terkait dengan kewenangannya, misal: dalam penyidikan kasus/tindak pidana,
penindakan pelanggaran lalu lintas, registrasi dan identifikasi kendaraan.
Dalam penyidikan tindak pidana, contoh yang baru-baru ini terjadi adalah kasus
Kompol Arafat Cs yang menerima upah/keuntungan dari Gayus karena menghilangkan
pasal korupsi dalam berkas penyidikannya, merubah status tersangka menjadi
saksi untuk Roberto Antonius, pembukaan blokir rekening Roberto Santonius.
Dalam penindakan pelanggaran lalu lintas biasanya pelanggar dimintai sejumlah
uang agar tidak ditilang, dan untuk registrasi dan identifikasi kendaraan
bermotor biasanya pemohon harus mengeluarkan sejumlah uang untuk memperpendek
birokrasi atau mendapatkannya dengan cara instan tanpa perlu melewati prosedur.
Upah tidak
hanya bersifat personal (uang, hadiah, akses pada kekuasaan) tapi juga bersifat
organisasional (promosi, dukungan sejawat, izin atasan) misal: “budaya setor”
oleh anggota kepada pimpinannya sehingga penilaian pimpinan selalu baik dan
mendapatkan promosi jabatan atau akan bertahan lama menduduki jabatan “basah”,
melakukan pungli atas izin atasan dan dukungan sejawat yang semua sama-sama melakukan
pungli. Upah dapat juga selain materi, misalnya: kenaikan pangkat sebagai hasil
memajukan sasaran institusi melalui cara yang tidak dibenarkan, misalnya: membongkar
sindikat narkoba yang sebenarnya adalah “peliharaannya” karena tidak lagi
“loyal” (memberikan upeti atau hadiah) maka yang bersangkutan mendapatkan
kenaikan pangkat. Upah membedakan korupsi dari bentuk lain pelanggaran polisi,
yaitu: “kebrutalan” yang bukan kepanjangan dari tujuan organisasi (tidur saat
bertugas, melakukan kepentingan pribadi saat bertugas, mendapatkan penugasan
yang nyaman, ketidakhadiran, dan jalan pintas administratif).
Ada empat zona titik rawan korupsi di kepolisian yakni (1) "zona
pelayanan" dalam urusan pemberian izin, registrasi, verifikasi dan
sebagainya, (2) korupsi di zona
kewenangan, khususnya dalam tugas selaku penegak hukum, (3) Korupsi fiskal atau
anggaran, dalam pos belanja barang, (4) korupsi di manajemen personalia,
khususnya saat rekruitmen, promosi, mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang
strategis. (Kastorius Sinaga, 2006). Zona pelayanan dilakukan dengan cara
memperpendek birokrasi atau prosedur yang semestinya (misal: pembuatan
SIM-STNK-BPKB (SSB), Surat Keterangan Catatan Kriminal (SKCK), Izin Keramaian
dan lain-lain), tidak melalui pemeriksaan yang semestinya dilakukan (misal:
izin senjata api, izin keramaian, izin untuk orang asing dan lain-lain). Kemudian,
zona kewenangan dilakukan dengan memanipulasi alat bukti (merubah pasal menjadi
pasal yang ringan ancaman hukumannya, “memelihara” bandar narkoba/bandar
judi/prostitusi/pemalsu merk/pembajak CD-DVD, dan lain-lain). Selanjutnya, zona
fiskal atau anggaran dilakukan dengan cara memanipulasi data fiskal (misal:
mark up kuantitas barang, menurunkan kualitas barang, fiktif dalam kegiatan,
dan lain-lain). Dan terakhir, zona manajemen personalia yang dilakukan melalui
“lobi-lobi” untuk meluluskan, “budaya setor” mendapatkan “jabatan basah”
(misal: untuk lulus sekolah polisi (Secaba, Akpol, Secapa, Sespim, dan
lain-lain) harus membayar sejumlah uang, menyetor sejumlah uang secara periodik
jika berhasil duduk di jabatan strategis (Kanit, Kasat, Direktur, dan
lain-lain), menyetor sejumlah uang untuk ikut pendidikan luar negeri atau
kursus di luar negeri).
Menurut
Barker dan Roebuck (1974) menyebutkan ada delapan tipologi korupsi polisi
yaitu: (1) korupsi kewenangan dengan menerima atau meminta sesuatu baik
makanan, minuman, pelayanan atau diskon gratis atau sejumlah uang atau
fasilitas gratis, (2) penyuapan dengan menerima atau meminta uang, barang, dan
pelayanan dari perorangan (pengacara, dokter, pengelola tempat, dan sebagainya)
atau perusahaan (bengkel, kantor pelayanan, perusahaan jasa pindahan, dan
sebagainya), (3) pencurian opotunistik dengan mencuri dari tersangka, korban,
Tempat Kejadian Perkara (TKP) atau lokasi yang tidak dilindungi, (4) pemerasan
dengan mengambil uang dari pelaku kejahatan atau pelanggar lalu lintas sebagai
imbalan tidak menjatuhi hukuman, (5) perlindungan kegiatan ilegal dengan
mengambil uang atau upah dari operator susila atau dari perusahaan legal yang
melakukan pratik ilegal sebagai imbalan karena melindungi mereka dari tindakan
penegakan hukum, (6) penyuapan dengan mengambil uang atau upah karena
membatalkan tuntutan yang disangkakan atau membuang kartu tilang lalu lintas yang
telah dikeluarkan, (7) kegiatan kriminal langsung dengan melakukan kejahatan
seperti mencuri atau merampok dengan menggunakan informasi yang ada pada
kepolisian tetapi, sebaliknya tidak melibatkan penyalahgunaan kewenangan
polisi, (8) hadiah internal dengan menjual penugasan kerja, cuti, hari libur,
bukti dan promosi.
Selain
delapan tipologi tersebut, ada penambahan lain untuk memasukan perbuatan
korupsi yang dirancang untuk meningkatkan efektivitas penegakan hukum dan
peningkatan karir polisi yang korup tersebut (Punch, 1985: 11) yaitu korupsi
kombatif dengan melakukan penanaman/penambahan bukti, pemalsuan kesaksian,
intimidasi saksi, membayar informan dengan narkoba ilegal untuk melakukan
penahanan, menjebak sehingga mendapatkan kasus/perkara, atau mendapatkan
hukuman lebih lama bagi penjahat.
Masih ada tipologi
lain yang menggunakan analisis kedalaman korupsi, tingkat organisasi, dan
sumber penyuapan (Sherman, 1974: 7). Kadangkala walaupun sebuah kesatuan polisi
yang meng”haram”kan korupsi kadang masih menghasilkan “apel busuk” yaitu
sebutan untuk polisi berseragam yang kadang-kadang menerima suap ketika
bertugas sebagai patroli lalu lintas dan “saku busuk” yaitu sebutan untuk
sekelompok kecil polisi yang ditugaskan menegakan hukum susila (Vice Control-VC) yang bekerja sama dalam
korupsi level bawah. Keduanya dapat disebut sebagai street corruption karena dilakukan ditataran jalanan/operasional
kepolisian di tingkat bawah.
Tipe kedua, unorganized corruption culture “korupsi
tak terorganisasi yang membudaya” terjadi ketika persentase terbesar pegawai
lembaga semua korup, tetapi polisi bertindak sendiri-sendiri dan hanya sedikit
yang berkolusi. Misalnya: ketika stigma bahwa berurusan dengan bagian
personalia pasti membutuhkan biaya padahal bisa jadi pimpinannya melarang itu
maka sebagian oknum memanfaatkannya dan bertindak secara sendiri-sendiri. Tipe
ketiga, organized corruption culture
“korupsi terorganisisasi yang membudaya” mencakup situasi ketika korupsi tidak
hanya meluas tetapi didalamnya polisi dan koruptor terorganisasi secara rapi.
Jenis korupsi ini dapat meluas ke jajaran kepolisian tertinggi dan mengizinkan
pengaruh kejahatan terorganisasi dalam upaya penegakan hukum. Misalnya: “budaya
setor” kepada high rank officer /
pejabat tinggi kepolisian baik oleh level bawah kepolisian atau organisasi
kejahatan sehingga memberikan diskriminasi penegakan hukum, contoh: bos judi
atau bos kayu yang bisa menggeser kedudukan pejabat polisi di suatu tempat
karena “kedekatannya” dengan pejabat tinggi polisi. Dengan beberapa tipologi
korupsi polisi yang telah dijelaskan, maka banyak pengamat berkesimpulan bahwa
tidak ada jajaran kepolisian yang dapat dijamin bebas dari korupsi atau paling
tidak, ada potensi korupsi.
Salah satu
analisa terhadap perilaku korupsi/praktik korupsi polisi melibatkan kontradiksi
dan kendala dalam hubungan antara polisi dan masyarakat, terutama masyarakat
demokratis adalah di satu sisi polisi diwajibkan untuk menegakan hukum, di sisi
lainnya memelihara keamanan dan ketertiban serta melakukan kedua hal ini tanpa
melanggar hak asasi manusia. Ketidakkonsistenan dan konflik di antara
tujuan-tujuan tersebut, kerap menimbulkan kegagalan untuk memenuhi salah
satunya, seperti yang digambarkan Bruce Smith sebagai police problems “masalah polisi” (Bruce Smith, 1960: 2-3).
Kadangkala
perintah yang diberikan kepada polisi sangat membingungkan dan bertentangan
sehingga tugas mereka tidak dapat dikerjakan dan hal ini membawa pada keadaan
“kepalsuan dan kemunafikan” yang pada gilirannya mengarah pada subkultur polisi
dengan ciri solidaritas internal yang kuat, perasaan bermusuhan dengan warga
masyarakat lainnya, sistem nilai sendiri dan proses mensosialisasikan calon
anggota polisi. Subkultur ini didukung dengan hierarki yang menuntut efesiensi
daripada legalitas dan kepemimpinan dari posisi teratas turut berbagi nilai dan
persepsi (Goldstein, 1977: 163).
Untuk
menjelaskan kaitan empiris antara korupsi polisi dengan faktor sosial, politik,
ekonomi, historis dan kultur tertentu, maka menurut Simpson (1977: 87)
faktor-faktor tersebut meliputi pengaruh kejahatan terorganisir, kebutuhan
untuk menegakan hukum yang tidak popular, perekrutan personel bermutu rendah,
penyalahgunaan kewenangan diskresi, pelatihan calon anggota polisi yang buruk,
kepemimpinan yang buruk, kontrol administrasi yang tidak mencukupi, gaji
rendah, status polisi yang rendah, korupsi politik, korupsi di bidang lain
dalam sistem peradilan pidana, standar moral yang rendah di bagian lain dalam
masyarakat, dan konflik pengalaman polisi dalam peran mereka saat menjalankan
tugas hariannya.
Kerangka
teoritis yang paling umum digunakan untuk menjelaskan korupsi polisi bersifat
sosiologis, sosio-psikologis, dan organisasional (Simpson, 1997: 112). Teori
sosiologis lebih menekankan “kode etik” yaitu aturan tidak tertulis yang
menetapkan apa yang diperbolehkan dan apa yang dibutuhkan dan yang ditegaskan
oleh polisi sejawat. Kode etik ini, yang melarang solidaritas dan kerahasiaan
di hadapan publik yang diyakini bersikap acuh atau sangat memusuhi polisi,
justru memungkinkan dan bahkan meminta agar polisi berpartisipasi dalam
perbuatan korupsi yang sangat dimungkinkan dalam masyarakat yang bermoral
rendah. Beberapa teori ini menjelaskan bahwa korupsi mendukung nilai yang pada
dasarnya sama seperti nilai dalam masyarakat yang lebih luas dan memungkinkan
polisi menumpuk kekayaan sambil mengatur dan mengontrol aktivitas ilegal
(perjudian, pelacuran, narkoba) yang oleh masyarakat ambivalen dianggap ilegal
tetapi tidak bersungguh-sungguh memberantasnya. Hal ini memungkinkan mereka
mengakomodasi hasrat yang bertentangan dalam masyarakat pluralistik (Bracey,
1976) dan dengan manipulasi bukti dan kesaksian, membiarkan polisi melakukan
penangkapan yang akan berhasil dituntut dengan sistem legal yang membuatnya
sulit untuk melakukan penahanan semacam itu (Manning, 1974). Varian dari
pendekatan sosiologis adalah subkultur polisi yaitu suatu kultur pekerjaan yang
dicirikan dengan frustasi kerja polisi. Menurut Wilson (1963: 138) menekankan
aspek fungsional subkultur ini dalam memberikan “basis harga diri yang terbebas
dari sikap warga sipil” pada polisi.
Teori
sosio-psikologis berfokus pada interaksi individu dan lingkungannya. Mereka
tidak berusaha menjelaskan mengapa korupsi terjadi pada awalnya, melainkan
mengapa beberapa polisi menjadi korup sedangkan yang lainnya tidak. Penjelasan
semacam itu didasarkan pada konsep “karir moral” (Stoddard, 1968: 204) yaitu
sebuah proses yang dimulai dengan pelanggaran yang relatif kecil dan lambat
laun berkembang menjadi perbuatan yang lebih serius. Pandangan terhadap korupsi
disini menjelaskan mengapa administrator polisi prihatin dengan tindakan yang
dianggap sama sepelenya dengan menerima kopi gratis di rumah makan, mereka
khawatir perbuatan itu menjadi langkah pertama dari proses yang akan membuat
polisi semakin menerima nilai-nilai dari “kode etik” tidak tertulis tadi.
Selain “kode etik” juga ada standar yang ditetapkan masyarakat untuk mengatur
prilaku polisi dan juga sistem moral individu “yang didapat dari sosialisasi sebelumnya
dalam interaksi keluarga, keagamaan, pendidikan dan rekan sejawat”. Karena
setiap polisi mengelaborasi dan menerapkan seperangkat standar ini secara
berbeda-beda, faktor struktural saja tidak akan menentukan apakah atau seberapa
jauh polisi berpartisipasi dalam tindak korupsi.
Teori
organisasional menjelaskan bahwa struktur birokratis dan paramiliter kepolisian
menjadikan latar yang menghasilkan korupsi, atau paling tidak menjadi toleran
terhadap perbuatan korupsi. Misalnya, dengan melembagakan kerahasiaan
manajerial dan mendorong polisi agar tidak meneruskan keluhan terhadap rekan
sejawatnya, hierarki kepolisian mendorong penggunaan “apel busuk” / mengatakan
“hanya oknum polisi” untuk membela diri dari tuduhan korupsi yang dilemparkan
media massa, masyarakat, atau lembaga lain (Misner, 1975). Ketidakfleksibelan
birokrasi kepolisian tradisional mendorong terbentuknya sistem pengawasan
organisasi yang berdasarkan paham otoriter dan ancaman, sedangkan sistem
penghargaannya mendorong loyalitas pada organisasi dan individu didalamnya dan
bukan pada prinsip moralitas dan profesionalisme.
Upaya
pencegahan yang sukses dilakukan pada kepolisian Amerika dengan merancang
sejumlah ukuran untuk mencegah, mendeteksi dan menghukum korupsi antara lain
melalui kepemimpinan positif, pengaruh politik, kewenangan dan tanggung jawab,
kebijakan dan prosedur, satuan provos, program kemitraan lapangan, pembalikan
(tukar kepala), dan pengujian integritas (Mc Cormack Ward, 1979).
Pertama
adalah kepemimpinan positif, disini apabila kepala polisi (dari tingkat atas
sampai kebawah) efektif mempertunjukan dengan teladan dan dukungan, juga dengan
pernyataan, bahwa kebijakan antikorupsi sangatlah penting untuk institusi
polisi. Dalam institusi yang melekat dengan reputasi pelanggaran, kepala polisi
yang baru menemukan bahwa sangatlah penting untuk mengambil langkah segera
dalam administrasi kepolisian dan kalau menunggu terlalu lama dapat membuat
mustahil upaya untuk mengatasi permusuhan yang akan dihasilkan oleh metode
antikorupsi terhadap mereka yang tunduk pada “kode etik” tidak tertulis tadi.
Perlu keberanian dan ketulusan hati seorang kepala polisi untuk menyatakan
perang melawan korupsi dan mampu menjadi teladan, dirinya juga bersih dan tidak
mau kompromi dengan perilaku korupsi.
Yang kedua
adalah mampu menghilangkan pengaruh politik, karena pengaruh politik sangatlah
mengganggu administrasi kepolisian manakala politikus meminta hukum tertentu
tidak ditegakkan, pelanggaran hukum diabaikan, atau mereka diperbolehkan
mempengaruhi pengangkatan dan promosi petugas polisi. Karena kedekatan politikus
dengan petinggi polisi yang dapat memunculkan “area abu-abu”. Namun, jika
kepala polisi akan berhasil memerangi korupsi jika melihat bahwa ketika
pengaruh politik eksternal mendikte keputusan kepolisian, maka kepala polisi
akan kehilangan kepercayaan dari para anak buahnya dan masyarakat, dan mereka
telah menjelaskan bahwa pengelolaan institusi kepolisian menjadi tanggung jawab
mereka. Kepala polisi harus tegas terbebas dari pengaruh politik, walaupun
secara politik Presiden membutuhkan persetujuan DPR untuk mengangkat sosok
kepala polisi/Kapolri. Kapolri tegas menentang campur tangan politik terhadap
setiap lini operasional dan internal Polri menegakkan profesionalisme dengan
standar yang jelas dan bersih dari perilaku korupsi.
Ketiga adalah
kewenangan dan tanggung jawab semua anggota kepolisian, termasuk supervisor
tingkat satu (perwira pertama) dan tingkatan lebih tinggi, bertugas mengambil
tindakan melawan korupsi dan kegagalannya berakibat pada tindakan indisipliner
bagi semua petugas dalam rantai komandonya. Hal tersebut merupakan rekomendasi
Knapp Coomission yang menyatakan bahwa tanggung jawab utama bagi semua
penyidikan korupsi dan yang paling serius diberikan pada komando terkait dan
bukan pada markas besar (Mabes). Disini setiap komandan dituntut untuk rela,
ikhlas dan berani melawan perilaku korupsi dan bersedia mundur dari jabatannya
jika dalam rantai komandonya terdapat korupsi, serta berani menghukum siapa
saja yang korupsi. Hal ini tentunya didukung kebijakan secara nasional dalam
internal polisi sendiri. Jadi akan timbul atmosfir, kalau kamu korupsi maka
kamu akan tersingkir dari polisi.
Keempat yaitu
kebijakan dan prosedur terutama kebijakan antikorupsi harus jelas, tidak ambigu
dan disebar secara sistematis pada semua petugas dalam institusi kepolisian.
Perencanaan yang cermat menghasilkan seperangkat prosedur yang menjelaskan
wilayah tindakan yang ditangani oleh supervisor atau petugas komando dan
wilayah yang ditangani oleh satuan provos. Hal ini mesti didukung perangkat
lunak berupa aturan, standarisasi dan prosedur yang jelas dalam kebijakan
antikorupsi serta perangkat keras yang mumpuni yaitu personel yang teruji,
berbudi pekerti didukung dengan sarana prasarana yang sangat baik.
Kelima adalah
satuan provos yang melakukan upaya berkesinambungan untuk mendeteksi masalah
nyata atau potensial dari pelanggaran polisi dan menyidik kasusnya dengan lebih
serius. Satuan provos biasanya melapor kepada kepala atau wakil kepala polisi,
jumlah anggotanya ditentukan oleh faktor besarnya institusi, jumlah pengaduan
yang diterima, jumlah kasus yang ditangani, tanggung jawab nyata satuan, dan
sifat masalah pelanggaran. Perlu didukung kebijakan kepala polisi untuk
meningkatkan profesionalitas, sistem penghargaan yang jelas (misal: dengan
sistem persentase dari jumlah hasil korupsi yang diungkapnya, tentunya harus
didukung dengan payung hukum) sehingga membuat satuan provos bebas dari
pengaruh apapun yang dapat merusak kredibilitasnya.
Keenam yaitu
program kemitraan lapangan, dalam hal ini para taruna polisi / calon anggota
polisi yang lagi dididik dan polisi veteran diberi tanggung jawab khusus untuk
mendapatkan dan melaporkan informasi mengenai korupsi atau pelanggaran lain
dengan cara menyamar. Kendati program ini diumumkan secara internal, identitas
rekanan yang melakukan penyamaran tetap dirahasiakan. Program semacam ini
sangat berguna khususnya bagi kepolisian di mana melaporkan polisi sejawat
jarang dilakukan dan dianggap melanggar “kode etik” tidak tertulis, meskipun
personel kepolisian itu diperkirakan dapat lebih memusuhi mereka.
Pemberdayaan polisi veteran (dalam hal
ini Keluarga Besar Persatuan Purnawiran Polri/KBPPP) harus dipayungi dengan
aturan yang jelas, standarisasi kinerja dan semangat perubahan subkultur polisi.
Ketujuh
adalah pembalikan (tukar kepala), terjadi apabila seorang polisi yang ditemukan
korup diberi janji kekebalan atau iming-iming sejenis sebagai barter atas bukti
yang dikumpulkan mengenai polisi lain yang korup, hal ini melibatkan sarana
perekaman. Cara ini terbukti efektif di kepolisian Amerika dalam membongkar dan
menjatuhkan tuntutan terhadap korupsi sistematik, meskipun etika mendorong
polisi untuk korupsi masih diperdebatkan. Hal ini bisa diadopsi oleh Polri
dengan menempatkan satuan propam/provos sebagai ujung tombak untuk melaksanakan
program ini.
Terakhir,
pencegahan dengan pengujian integritas. Unsur ini terdiri atas percobaan
seperti meninggalkan dompet penuh uang di suatu tempat yang kemungkinan akan
ditemukan polisi dan menunggu apakah polisi akan mengembalikan dompet yang
ditemukannya atau menyuruh informan untuk melakukan pelanggaran lalu lintas dan
menyuap petugas dengan sejumlah uang. Percobaan ini dapat diinformasikan atau
tidak bahwa ujian integritas ini sedang dilaksanakan. Walaupun kepolisian yang
memiliki masalah korupsi memandang kegunaan pengujian integritas ini sebagai
piranti penyidikan dan pencegahan, cara ini memang rawan jebakan sanksi etika
dan hukum. Hal ini sudah dimulai oleh Polri dalam tataran administrasi yaitu
penandatangan fakta integritas bagi setiap pimpinan kesatuan, dan hal ini perlu
ditingkatkan menjadi suatu gerakan moral menjunjung integritas dan membudayakan
malu untuk korupsi (melalui sanksi sosial jika korupsi).
Upaya
pencegahan tersebut diatas memerlukan suatu upaya yang extraordinary (luar biasa), diatur dengan jelas, mendapat dukungan
seluruh komponen kepolisian dan tekad seluruh polisi untuk mengubah subkultur
mereka sendiri serta mulai dari setiap individu polisi. Selain penegakan hukum
yang kosisten, perlu suatu mekanisme “pengkucilan” (sanksi sosial) bagi yang
terlibat korupsi dan semangat profesionalisme (meraih standar tingkah laku dan
kinerja yang paling tinggi) dengan menjunjung tinggi kode etik kepolisian
secara deontologi, yaitu suatu sistem etika yang tidak mengukur baik tidaknya
suatu perbuatan berdasarkan hasilnya, melainkan semata-mata berdasarkan maksud
si pelaku dalam melakaukan perbuatan tersebut (K. Bertens, 2007: 254).
III. KESIMPULAN
Dari penjelasan
tersebut diatas maka dapat diambil kesimpulan bahwa polisi dalam hal ini Polri
memiliki hubungan dengan perilaku korupsi dan bahwa tidak ada jajaran kepolisian yang dapat dijamin bebas dari
korupsi atau paling tidak, ada potensi korupsi. Hal ini dikarenakan tugas dan kewenangan yang dimiliki
Polri sebagai penegak hukum, pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat yang
disyaratkan oleh undang-undang.
Ada bermacam-macam
tipologi korupsi polisi antara lain: (1)
korupsi kewenangan, (2) penyuapan dengan menerima atau meminta uang, barang,
dan pelayanan dari perorangan atau perusahaan, (3) pencurian opotunistik, (4)
pemerasan dengan mengambil uang dari pelaku kejahatan atau pelanggar lalu
lintas sebagai imbalan tidak menjatuhi hukuman, (5) perlindungan kegiatan
ilegal, (6) penyuapan dengan mengambil uang atau upah karena membatalkan
tuntutan yang disangkakan atau membuang kartu tilang lalu lintas yang telah
dikeluarkan, (7) kegiatan kriminal langsung dengan melakukan kejahatan, tetapi
tidak melibatkan penyalahgunaan kewenangan polisi, (8) hadiah internal dengan
menjual penugasan kerja, cuti, hari libur, bukti dan promosi, (9) korupsi
kombatif, (10) street corruption yang
dilakukan ditataran jalanan, istilah “apel busuk” dan “saku busuk”, (11) unorganized corruption culture “korupsi
tak terorganisasi yang membudaya”, (12) organized
corruption culture “korupsi terorganisisasi yang membudaya”.
Perilaku korupsi polisi
ditinjau dari teori korupsi Simpson adalah teori sosiologis yang lebih
menekankan “kode etik” yang tidak tertulis memperbolehkan perilaku korupsi dan
secara aspek fungsional subkultur “basis harga diri yang terbebas dari sikap
warga sipil” pada polisi. Kedua, teori sosio-psikologis berfokus pada interaksi
individu dan lingkungannya dan “karir moral” kalau terbiasa korupsi yang
kecil-kecil maka akan terbiasa juga korupsi yang besar. Ketiga, teori organisasional
menjelaskan bahwa struktur birokratis dan paramiliter kepolisian menjadikan
latar yang menghasilkan korupsi, atau paling tidak menjadi toleran terhadap
perbuatan korupsi dan ketidakfleksibelan birokrasi kepolisian dengan sistem
pengawasan organisasi yang otoriter dan ancaman, sedangkan sistem
penghargaannya mendorong loyalitas pada organisasi dan individu didalamnya dan
bukan pada prinsip moralitas dan profesionalisme.
Upaya
pencegahan yang sukses dilakukan pada kepolisian Amerika dengan mencegah,
mendeteksi dan menghukum korupsi antara lain melalui kepemimpinan positif,
pengaruh politik, kewenangan dan tanggung jawab, kebijakan dan prosedur, satuan
provos, program kemitraan lapangan, pembalikan (tukar kepala), dan pengujian
integritas. Upaya pencegahan tersebut dapat Polri adopsi dengan upaya yang extraordinary (luar biasa) melalui
dukungan seluruh komponen kepolisian dan tekad seluruh polisi untuk mengubah
subkultur mereka sendiri dan mulai dari setiap individu. Upaya luar biasa
berikutnya dengan penegakan hukum yang kosisten (bila perlu sanksi pemecatan), dan
perlu suatu mekanisme “pengkucilan” secara sosial bagi yang terlibat korupsi.
Terakhir, upaya luar biasa mesti dilakukan dengan semangat profesionalisme
(meraih standar tingkah laku dan kinerja yang paling tinggi).
DAFTAR PUSTAKA
Barker, Thomas dan Julien
B. Roebuck. 1974. An Empirical Typology
of Police Corruption: A Study in Organizational Deviance. Springfield:
Charles C. Thomas.
Bertens, K. 2007. Etika. Cetakan ke-10.Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Bracey, Dorothy
H. 1976. A Functional Approach to Police
Corruption. New York: Jhon Jay Press.
______, 1995.
“Police Corruption”. The Encyclopedia of
Police Science, William G. Bailey (ed) edisi Bahasa Indonesia (2005).
Jakarta: YPKIK.
Departemen Pendidik
Nasional. 2008. Kamus Besar Bahasa
Indonesia. Cetakan ke-4. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Goldstein,
Herman. 1977. Policing a Free Society.
Cambridge: Ballinger.
Kompasdotcom.
2010. “Polri Klaim Keseriusan dalam Kasus Gayus” Kompas.com, 1 Desember 2010. (http://nasional.kompas.com/read/2010/12/01/19570833/Polri.Klaim.Keseriusan.dalam.Kasus.Gayus).
Diakses tanggal 4 Desember 2010.
Mc Cormack,
Robert dan Richard H. Ward. 1979. An
Anti-Corruption Manual for Administrators in Law Enforcement. New York:
Jhon Jay Press.
Manning, Peter
K. “Police Lying”. Urban Life and Culture
3: hlm. 283-306.
Misner, Gordon
E. 1975. “The Organizational and Social Setting of Police Corruption”. Police Journal 48: 45”51.
Punch, Maurice. 1985. Conduct Unbecoming. New York: Tavistock Publication.
Sherman, Lawrence W. 1978. Scandal and Reform: Controlling Police Corruption. Los Angeles and
Berkeley: University of California Press.
_______, (ed). 1974. “Toward a Sociological
Theory of Police Corruption”. Police
Corruption: A Sociological Perspective. Garden City, NY: Anchor.
Simpson, Anthony E. 1977. The Literature of Police Corruption. New York: Jhon Jay Press.
Smith, Bruce. 1960. Police Systems in United States. Edisi ke-2. New York: Harper and
Row.
Stoddard, E. P. 1968. “The Informal Code of
Police Deviancy: A Group Approach to Bluecoat Crime”. Journal of Criminal Law, Criminology and Police Science 59 (2):201-12.
Wilson, James Q. 1963. “The Police and Their
Problems: A Theory”. Public Policy 12:189-216.
Transparancy International Indonesia (TII).
2007. “Polisi, Parpol, Parlemen dan Peradilan Dianggap paling Terpengaruh dari
Korupsi” Press Release GBC 2007. 6 Desember 2007. Jakarta : TII.
Tempointeraktif. 2010. “Kompol Arafat mulai
Bernyanyi”, Tempo Interaktif, 19 Juli
2010. (http://www.tempointeraktif.com/hg/hukum/2010/07/19/brk,20100719-264516,id.html). Diakses tanggal 4 Desember 2010.
Undang-Undang
nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Peraturan Kapolri No. Pol. : 7 tahun 2006
tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia.
[1]
Press Release Transparancy International Indonesia tanggal 6 Desember 2007
berjudul Polisi, Parpol, Parlemen dan Peradilan Dianggap Paling Terpengaruh
dari Korupsi, yang isinya antara lain sebagai berikut:
Dalam konteks Indonesia, prosentasi
responden yang membayar suap mencapai 31%. Dampak korupsi dalam sektor dan
institusi yang berbeda menunjukan lembaga kepolisian mendapatkan skor tertinggi
dengan nilai indeks 4,2 disusul lembaga peradilan dan DPR yang indeksnya 4,1.
Sedangkan partai politik nilainya 4,0, disusul pelayanan perijinan dan
perpajakan yang masing-masing indeksnya 3,8 dan 3,6. Semakin tinggi indeks, semakin
dipersepsikan terkorup.
Tingginya indeks kepolisian kita dalam
GCB 2007, menunjukan citra institusi ini yang buruk dimata publik. Secara kasat
mata bisa dilihat dari kekecewaan masyarakat selama ini terhadap pelayanan
administrasi kendaraan, serta pembayaran suap dan pungli dalam pelanggaran
lalu-lintas dan penanganan perkara. Pengadaan barang dan jasa di kepolisian
juga bermasalah. Belum lama ini terungkap dugaan korupsi pengadaan kendaraan lapis
baja (APC) di Mabes Polri pada 2001 sebesar Rp1,3 miliar, seperti dilaporkan
oleh sebuah LSM.
Ada empat zona titik rawan korupsi di
kepolisian yakni di "zona pelayanan" dalam urusan pemberian izin, registrasi,
verifikasi dan sebagainya. Korupsi di zona kewenangan, khususnya dalam tugas
selaku penegak hukum. Korupsi fiskal atau anggaran, dimana pos belanja barang,
khususnya persenjataan telah menjadi sasaran empuk pemburu ekonomi rente.
Terakhir, korupsi di manajemen personalia, khususnya saat rekruitmen, promosi,
mutasi bahkan diklat untuk jabatan yang strategis. (Kastorius Sinaga, 2006).
Penelitian mahasiswa Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) belum lama ini
telah memperkuat sinyalemen ini. Penelitian mereka di 19 kepolisian daerah
(Polda) menemukan fakta: untuk menjadi polisi, seorang calon terpaksa harus
membayar Rp 40 juta.
[2]
Pasal 1 Undang-Undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum
Acara Pidana (KUHAP) menyebutkan definisi dari:
1. Penyidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri
sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan
penyidikan.
4. Penyelidik
adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh
undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar